Teman, bukankah hidup itu soal kekecewaan-kekecewaan yang rela kita pilih?
Tentang toleransi yang kita bagi untuk tetap berada dalam pilihan. Tentang upaya yang kita reka, atau bahkan rekayasa, untuk memperjuangkan pilihan. Atau mungkin, lebih tepatnya, tentang harapan-harapan yang menyertai pilihan. Keinginan-keinginan yang dimimpikan bertemu tambatan dalam pilihan.
Namun seringkali kita lupa: pilihan dan harapan itu bersalaman erat dengan bayangan kekecewaan. Merasa pernyataan ini terlalu sarkastis? Tak apa, anggap saja saya manusia sinis yang melihat segala sesuatu dari sisi negatif. Tapi coba dengarkan dulu, boleh?
Bayangkan: Kita sedang memilih harapan dalam toko pilihan. Harapan-harapan terpampang mulai dari harapan yang bersifat umum, hingga yang siap dirajut sesuai mimpi dan ilusi personal. Semua berjejer rapi di dalam etalase—tentu dengan harga yang berbeda-beda. Hal yang sering luput kita sadari, harga dari tiap pilihan harapan adalah kesiapan untuk kecewa. Terlepas diakui atau tidak, setiap pilihan punya intensitas kekecewaannya masing-masing. Masa?
Sebut saja A sedang sangat ingin menikmati bakso, ini harapan. “Andai pacar saya bisa menemani, pasti asyik!” Tambahan harapan. Tanpa A sadar dia menambah intensitas kekecewaannya. Jika tadinya bakso habis yang akan mengecewakannya, maka sekarang ada tambahan variabel baru. Sang pacar yang tak bisa menemani akan jadi tambahan kekecewaan. Apakah pada akhirnya A akan kecewa, atau malahan asyik ngebakso dengan sang pacar? Hei tak ada yang bisa memastikan. Serumit itu? Sedikit.
Lepas dari semua kerumitan antara harapan dan kekecewaan, tulisan ini tak bermaksud untuk membuatmu jadi takut berharap atau bermimpi. Ini hanya wanti-wanti untuk memastikan sebelum terbang tinggi dengan harapan, pastikan punya parasut kalau-kalau akan jatuh ke bumi kekecewaan.
Jadi, apa harapanmu tahun ini?
Note: hei kekecewaan tak selalu terjadi, namun perlu dicermati untuk lebih berhati-hati. 🙂
Padang, 2016-1-4
Ivy
*biru tentang harapan, pilihan dan kekecewaan
Leave a Reply