Ma, memasuki bulan ini ada berbagai kenangan yang datang meruah-ruah. Rasa tak percaya berasimilasi dengan berbagai rasa lain yang belum rampung dicicil dalam durasi yang rupa-rupanya nyaris satu tahun. Seperti alarm, bulan Maret ini kembali mengingatkan ada banyak “PR” yang masih butuh saya urai sendiri dari kehilanganmu yang begitu tiba-tiba.
Saya masih berkutat dengan begitu banyak buku tentang griving dan axiety yang ditinggalkannya. Masih menangis sesekali, masih tertawa juga jika tanpa sadar berpikir bahwa kamu masih ada di dunia ini bersama kami. Tapi saya percaya hidup itu tentang perjuangan konstan. Merelakanmu salah satunya.
Saya anggap ini waktu yang tepat untuk melepaskan surat ini kepadamu. Surat yang saya tulis beberapa hari setelah hari ulang tahunmu yang ke -60 seandainya kamu masih ada.
—————————-
Surat Penerimaan Maaf
Ma, saya memaafkanmu.
Ma, saya memaafkanmu untuk segala cintamu yang terlalu ruah dan sekarang meninggalkan rumah ini kerontang. Meninggalkan kami berdebat untuk berbagi peran, siapa yang kini harus mengisi semua kosong itu? Tapi tentu bisa kau tebak betapa keras kepalanya mami untuk yakin bisa mengerjakan semua peranmu lalu berakhir terseok-seok.
Tak ada lagi yang mengingatkan untuk membeli sabun atau shampo sebelum habis, tak ada lagi yang ingat membayar uang kebersihan sebelum diminta. Tak lagi yang bisa memasakkan jengkol selezat punyamu. Tak ada lagi kejutan di tudung saji, karena kini kami berdebat menentukan apa yang harus disajikan. Ada, tentu tak sama rasa.
Ma, saya memaafkanmu untuk segala perhatian yang begitu rinci dan membuat kami kewalahan untuk meneruskan hidup. Kami kehilangan mesin google serba tau kami di rumah. Tak ada lagi yang bisa ditanya di mana dan ke mana mencari barang tertentu. Sudah dipastikan tak ada lagi buah dingin yang sudah terpotong rapi.
Ma, saya memaafkanmu untuk segala kasih sayang berlebihan yang selama ini dicurahkan tanpa pamrih dan membuat kami menjadi manusia penuntut yang sering lupa berterima kasih. Membuat kami menjadi putra dan putri yang tau hanya terima. Membuat kami lupa ada usaha di balik tiap hal baik yang kami rasakan.
Saya ingat suatu waktu kamu pernah berkata, “membesar tanpa ibu itu sulit. Semua serba harus dikerjakan sendiri.” Sebagai anak kesembilan dari sembilan bersaudara yang ditinggal ibu di kala masih balita, kamu bermimpi jadi ibu yang baik. Ibu yang selalu memastikan segala hal ada bahkan sebelum kami tau kami membutuhkannya. Ibu yang terlalu baik.
Ibu yang menanti di ruang tamu dan memastikan pagar depan terbuka setiap kami pulang. Ibu yang memastikan makanan kesukaanmu akan terhidang di hari kepulanganmu. Ibu yang selalu bangun pagi-pagi sekali demi membuatkan bekal untukmu. Ibu yang akan mengiriskan rambutan, sehingga kamu bahkan tak perlu memisahkannya dari biji. Ibu yang memastikan tak ada tenggat yang akan terlewat. Ibu yang tak pernah punya banyak pinta dan selalu menerima apapun yang diberikan. Ibu yang membuat kami menjadi anak manja yang hanya tau duduk dan semua tersedia.
Saya memaafkanmu untuk segala kelebihan tanggung jawab yang kamu angkat dari bahu kami dan sekarang mau tak mau harus kami pikul kembali, bersamaan dengan cicilan rasa kehilangan.
Ma, terima kasih untuk semua hal meruah-ruah ini. Terima kasih mengajarkan kami mencinta sedalam dan sehabis ini. Kini waktunya kami belajar jadi manusia dewasa, berdiri tegak tanpa segala bantuan. Sekali lagi terima kasih, Ma. 4 bulan 5 hari, kami masih merindukanmu.
Padang, 2020-7-19
Ivy
Leave a Reply