ketika kecil, saya diyakinkan semua orang yang meninggal akan masuk ke surga dan hidup berbahagia di atas sana. “Di mana?” tanya Lia kecil. Itu di atas awan sana. “Ada apa saja di sana?” saya kembali bertanya. “Apa saja…” “Apa saja?” tanya saya dengan mata berbinar.
Bertumbuh menjadi kanak-kanak, saya diyakinkan bahwa selain surga yang ada di atas awan itu, ada juga neraka bagi anak nakal. “Kalau bandel-bandel nanti masuk neraka loh…” begitu biasanya ancaman itu terdengar. Neraka itu panas, gelap dan mengerikan. Hanya itu yang saya tau. Letaknya di mana? Di bawah sana, katanya.
Beranjak remaja, konsep surga dan neraka ini menjadi berkembang dan mengembang seperti kue yang dibubuhi baking powder. Mekar, tapi tak dapat saya atur arahnya. Batas-batas antara menjadi semakin abu-abu.
Beranjak dewasa, saya paham ternyata surga dan neraka itu ada di bumi. Ada banyak hal yang mampu membuat bumi yang kita tinggali ini berubah menjadi surga atau seketika mendatangkan neraka dan nestapa bagi orang lain.
Menjadi yatim piatu dengan dua cara yang berbeda, batas dan gambaran tentang surga dan neraka ini raib. Saya hanya ingin percaya bahwa ada dunia di balik senja. Dunia antara yang terbuka setiap senja. Dari saat matahari menyentuh permukaan air hingga seutuhnya tenggelam, itulah jendela waktunya.

Dunia yang muncul dari pintalan rindu. Cerita yang meniupkan nyawa. Dunia yang akan selalu ada, selama kita memastikan mereka yang pergi tetap ada di ingatan kita.
Padang, 2020-02-18
ivy
PS: Nah, setidaknya sekarang kau tau mengapa senja selalu manis dan hangat.
(CSWC 18 Febuari 2021)
Leave a Reply