Real power comes from feeling our feelings, not from ignoring them.
Real strength comes from acknowledging our weakness, not from pretending to be strong all the time
Melody Beattie
Awal minggu ini seorang karib dekat berbagi cerita tentang caranya melalui tantangan terbesar hidupnya. Dengan terisak dan berurai air mata diperlihatkannya coretan-coretan pada jurnalnya. “aku benar-benar ngajak ngomong emosiku satu per satu…” ucapnya.
Di antara semua emosi yang ada, menurutnya amarah adalah ketua geng. Sang ketua yang selalu memasang badan dan menjaga semua emosi inferior di belakangnya. Menurutnya setelah dia berdiskusi baik-baik dengan amarah, dia menemukan emosi-emosi lain yang selama ini disembunyikan amarah. Ada kesedihan yang dalam di sana. Ada kesedihan yang berakar dari penolakan. Dan ketika emosi ini diberi ruang, ada rasa lega yang sulit diceritakan. Sesi curhat pagi itu ditutup dengan pelukan dan segelas lady grey hangat. Sembari menutup jurnal hijaunya dia berkata, “kamu juga mungkin bisa coba…”
Maka di beberapa hari terakhir saya mencoba cara yang diceritakan teman saya tersebut. Hasilnya luar biasa. Prosesnya seperti duduk dengan kawan-kawan lama yang sebagian besar wajahnya cukup familiar namun sudah lama tak menjalin komunikasi. Awalnya tentu saja kaku dan serba salah, lalu pelan-pelan ada hal-hal yang tersadari, ada cerita-cerita yang cair dan ada “Aha” yang melegakan.
Jika bagi sang sahabat, ketua gengnya amarah sementara selubung emosi saya adalah takut. Saya menggunakannya sebagai lentera dalam berjalan. Saya menggunakannya untuk melindungi emosi terdalam lainnya, perasaan tidak diterima dan tidak dipercaya.
Ini kata-kata yang saya tuliskan untuk “ketakutan” saya:
Terima kasih telah menjaga saya selama ini. Terima kasih telah menjadi lentera yang teramat awas sehingga belum-belum hal tersebut terjadi saya sudah dibuat menjauh dan menghindar. Terima kasih untuk semua usaha yang telah dikerahkan dalam memastikan kaki saya tak terantuk batu, dan hati saya sterill dari segala kesedihan. Tugasmu sudah cukup sampai di sana.
Saya ingin menapaki hidup dengan cara baru, dengan lentera yang lebih hangat dengan percaya. Tapi, kamu jangan pergi jauh ya! Saya mau kamu jadi sepatu saya. Sepatu yang memastikan saya tetap mampu menapak pada tanah setinggi apapun saya dibuat terbang oleh percaya.
Buat si panik, terima kasih selalu jadi alarm. Terima kasih selalu menjadi pendamping sang ketakutan. Mulai kini, saya mau belajar melepaskan hal-hal yang ada di luar kendali. Bukan apa-apa, ternyata selama ini kita salah menyasar tujuan. Hidup damai itu bukan karena mampu memastikan segalanya sesuai dengan prediksi, tapi karena mampu berterima dengan segala yang di luar kuasa.
Untuk kesedihan, kecemasan dan kekecewaan aku melihat dan menerimamu. Terima kasih telah menjalankan peranmu selama ini. Terima kasih untuk terus mengingatkan Natali yang sering keras kepala ini. Peluk sayang untuk semua.
Saya sadar betul mampu menyalurkan perasaan melalui tulisan adalah kemewahan yang menyelamatkan.
Kalau kamu, kapan terakhir kali kamu berbicara dengan berbagai emosimu? Seberapa kenal kamu dengan emosi-emosi yang ada? Apa kamu sudah memberikan ruang cukup untuk semua emosimu?
Bandung, 2023-10-7
Ivy
Leave a Reply