Bangsawan, orang raja, to raja, tau raya itulah asal muasal dari kata Toraja atau Toraya. Masyarakat Toraja dipercaya berasal dari keturunan raja-raja di Sulawesi Selatan. Rasanya ini juga yang menjadi sebab musabab, Toraja punya cara luar biasa dalam memaknai kematian.
Melihat langsung pemakaman batu yang berumur ratusan tahun saya dibawa berkhayal jauh. Mengapa harus di lereng-lereng tinggi? Mengapa harus di batu? Kuburan batu berarti butuh uang dan waktu lebih untuk mempersiapkannya. Ukuran standar lubang yang dibuat di dalam batu biasanya berukuran 2x2x3 meter dan membutuhkan waktu sekitar 3-6 bulan untuk menyelesaikannya. “Tergantung! Berapa besar? Gaji tukang berapa banyak?” ucap Om Andi sembari terkekeh ketika saya tanya.
“Itu buat puang!” ucap seorang ibu asli Toraja yang saya temui di Lemo. Terakhir saya tau yang dimaksud puang adalah orang dengan kasta tertinggi di Toraja, Tana (kasta) Bulaan. Hal ini menjelaskan banyak hal, karena untuk membuat 1 kuburan batu saja harganya bisa mencapai ratusan juta.
Di depan kuburan batu ini, biasanya jug bisa kita temui patung kayu menyerupai orang, tao-tao, orang-orangan. Buat orang Toraja tau-tau ini bukan hanya sekedar gambar diri dari si mati, tapi lebih dari itu patung ini menjelaskan status seseorang. Mengapa? Tao-tao hanya boleh dibuatkan untuk pesta pemakaman yang akan memotong minimal 24 kerbau. Untuk memberi gambaran, 1 kerbau itu sekitar 30-40 juta. Cukup menjelaskan status sosialnya kan?
Lia, tau dari mana sih? Nanya dong! Hampir di seluruh objek wisata di Toraja tidak ada papan penjelasan menyoal sejarah dan cerita objek wisatanya, hal yang agak saya sayangkan. Tapi di sisi lain, bukankah kopi Toraja terkenal kenikmatannya? Mengapa tidak melipir ke kedai kopi terdekat dan bertanya langsung dengan masyarakat? Mengutip ucapan mbak Windy A, hal terpenting dari perjalan itu adalah interaksi dengan penduduk sekitar. Setuju?
#30haribercerita #30haribercerita2019
Leave a Reply