Lebih dari seminggu terakhir saya habiskan di sebuah kota kecil di Tana Toraja bernama Makale.
“Makale?” tanya seorang teman ketika saya mengirimkan ucapan selamat tahun baru.
“Di mana itu?” lanjutnya bertanya. Makale memang tak seterkenal Rantepao. Namun Rantepao sekalipun juga tak begitu santer namanya. Secara umum daerah ini hanya dikenal dengan sebutan Toraja. Jika menyebut Toraja, maka kebanyakan orang akan paham dan mengangguk. Meski secara administratif Makale dan Rantepao terletak di 2 kabupaten yang berbeda, Tana Toraja dan Toraja Utara. Tapi hal itu bisa jadi cerita berbeda dan tak akan saya bahas di sini.
Kembali ke Makale, kota yang memiliki kolam besar di tengah kotanya ini punya ritmenya sendiri. Menariknya, ritme itu tak sedikitpun berhubungan dengan turis.
Pagi-pagi sekali ketika kabut masih membungkus jajaran pegunungan yang mengitari Makale, sebagian rakyatnya sudah mulai beraktivitas. Menyapu jalanan depan rumah, berjalan pagi, ngaso dengan sarung dan segelas kopi Toraja, mengenjot becak, mengantarkan sayur makanan babi. Persis gerakan lambat ketika bangun dari tidurmu, begitu cara Makale bergeliat di pagi hari.
Tak akan kamu temukan ketergesa-gesaan di sini, tapi jangan salah mereka bukan tak cekatan. Mereka hanya punya denyutnya sendiri. Menghabiskan lebih dari seminggu untuk tinggal dan mengamati kota ini, saya yang dari Sumatera dan menghabiskan sebagian hidup di Jawa ini merasa gagu. Ada ruang-ruang kosong yang selama ini tak pernah saya temukan di pojok-pojok kota yang sudah begitu sunyi di jam 9 malam.
Bak orang yang terbiasa berlari, saya diminta memelan di sini. Melambatkan langkah dan bernafas dengan lebih panjang-panjang. Di beberapa hari pertama ini terasa seperti siksasan, pernah berjalan di belakang orang yang ritme jalannya lebih lambat darimu? Begitu kira-kira perasaan awal yang saya rasakan tentang tinggal di kota ini.
Berjalannya waktu, saya paham satu hal. Kelebihan Makale justru di ritmenya yang begitu pelan dan pasti. Kota sederhana yang tak menawarkan sesuatu yang luar biasa ini adalah tempat tepat untuk memelan. Seperti sarang kecil, kamu diberi kesempatan untuk menurunkan kecepatan tanpa dihantui perasaan bersalah atau ketakutan tertinggal kereta.
Terima kasih untuk 12 hari yang tenang, pelan dan tanpa gangguan. Terima kasih menjadi ruang untuk berkaca dan meluruhkan semua pemikiran yang berkecamuk di kepala namun tak pernah sempat dimuntahkan. Terima kasih untuk pemandangan indah yang membantu menenangkan dan memberi perasaan syukur. Terima kasih telah menjelma jalan lurus untuk mengatur nafas sebelum saya memulai kembali perjalanan menanjak di tahun 2019.
“Mau main lagi ke sini?” tanya paman Ira ketika saya pamit. Saya jawab tentu, jika ada kesempatan.
Makale, sekali lagi terima kasih menunjukkan pada saya bahwa ada cara-cara sederhana untuk menghadapi hidup. Tulisan ini adalah hadiah saya buatmu.
Hei, Makale ini boleh lambat tapi jangan lupa masyarakat Toraja punya budaya menarik menyoal kematian. Perayaan Rambu Solo atau Rambu Tukka akan menjadi selingan tepat di tengah istirahatmu di sini, percayalah.
NB: Tulisan menyoal perayaan adat istiadat ini akan saya tuliskan terpisah.
Leave a Reply