Terlupa bahwa ia seharusnya dibentuk dari apa yang ada, diracik dari kepasrahan dan dibingkai dengan penerimaan. Lalu kelak dikudap seperti gorengan murah tanpa embel-embel mewah. Hal termewah yang boleh dipasangkan pada bahagiaku, segelas teh hangat tanpa gula. Itu saja. Cukup.
Akhir-akhir ini, bahagia sering kali dinilai berlebih. Proses mengejar bahagia membuat bahagia itu sendiri jadi bertameng dan punya banyak topeng. Aku akan bahagia jika aku punya rumah; aku akan bahagia jika aku punya iPhone baru; aku akan bahagia jika ini, jika itu. Bahagia merupa banyak barang, menjelma banyak mimpi. Lalu lama kelamaan tuntutan untuk menjadi bahagia menggerogoti dalam diam seperti kanker. Perlahan tapi pasti.
Padahal, kalau boleh berpendapat, bahagia itu tak berbeda dengan marah, kecewa, sedih, terluka. Sebentuk rasa dan emosi yang memiliki variabel waktu.
Pernah berpikir jika selalu bahagia apa yang akan terjadi?
Mungkin kita sedang di surga saat itu.
Kita sering kali terlalu mengelu-elukan bahagia, padahal bahagia itu merupakan bagian dari kesatuan rasa yang saling melengkapi satu sama lain. Proses merasa yang punya siklus tertentu. Proses yang digambarkan cukup jelas dalam film Inside Out. Naik turun seperti grafik sinus, cosinus atau bahkan jadi tangensial yang sempat menghilang sesaat.
Lepas dari semua pandangan tentang menjadi bahagia dan keinginan merasakan bahagia, mungkin sesungguhnya kita hanya ingin punya sesuatu untuk dituju, suatu puncak untuk diraih. Lalu kita melemparkan bahagia di tempat terjauh dan menjadikannya piala. Piala yang di akhirnya selalu ada yang lebih dan lebih besar untuk digapai. Ini seperti keinginan yang tak bertepi.
Bahagia menjadi barang mewah dan dijunjung tinggi-tinggi bak raja.
Dulu aku pernah menjadi satu dari banyak fans berat bahagia. Mengejar-ngejarnya setengah mati. Bertanya-tanya di mana mencarinya? Di mana ia sembunyi? Di mana harus membelinya? Terlupa bahwa ia seharusnya dibentuk dari apa yang ada, diracik dari kepasrahan dan dibingkai dengan penerimaan. Lalu kelak dikudap seperti gorengan murah tanpa embel-embel mewah. Hal termewah yang boleh dipasangkan pada bahagiaku, segelas teh hangat tanpa gula. Itu saja. Cukup.
Pada akhirnya, bahagia itu bukan emas permata yang butuh diperjuangkan sekuat tenaga. Bahagia itu ada di dalam diri masing-masing. Seperti kue yang akan berlipat ganda jika dibagikan kepada yang lain. Oh, dan bahagia itu penyakit menular. Rasakan saja ia bersama waktu, biarkan ia mengalir tanpa paksaan. Sesederhana itu.
Tulisan ini dibuat sebagai pengingat untuk diri, kamu dan semua. Semoga kita tetap mampu memaknai bahagia dan rasa-rasa lain dengan lebih sederhana. Menikmatinya sebagai suatu kesatuan hidup, sebagai indera yang membantu kita menikmati dunia dengan utuh. Tiap rasa punya fungsi masing-masing. Tak lebih tak kurang, sama pentingnya.
Selamat menyelami rasa.
*Tulisan ini sebelumnya sudah di publish di kamantara.id
Leave a Reply