Pemulung Untuk Diri

 

memulung sampah, pantai ujung genteng

Pukul 07.15 am,  matahari pagi di Ujung Genteng menyapa dengan hebatnya, menjilat-jilat setiap inci kulit yang tak terlindung di hamparan pasir putih. Pagi itu hari terakhir Ciletuh Geopark Festival, diagendakan program penanaman Bakau. Sebagai yang nyempil dalam liputan teman-teman kabarkampus.com, saya tak banyak ribut. Mengikuti saja ke mana hajatan ini bergulir.

“Tempat penanaman bakau ada di sebelah sana, kita semua…” salah satu panitia menjelaskan dengan berapi-api tanpa menggunakan toa di silaunya pagi. Penjelasan selanjutnya hanya sayup-sayup saya dengarkan. Terlalu pusing dengan bulatan penuh yang seperti sedang kasmaran di atas sana. Sebagian teman memutuskan ikut berjalan bersama rombongan, sebagian lain mencari celah-celah bayangan untuk dijadikan payung termasuk saya.
Matahari yang bahagia biasanya berteman dengan langit biru. Benar saja, langit sedang biru-birunya pagi itu. Papan-papan surfing mulai disusunkan di pasir dengan rapi. Agenda selanjutnya adalah pelatihan cuma-cuma untuk surfing. Langit biru, laut biru dan papan biru. Pemandangan fotogenic yang jadi penghibur hati di tengah jilatan surya yang tak memberi ampun
Photo 8-28-16, 7 55 45 AM
biru-biru yang dirindu, Ujung Genteng
Berselang beberapa saat, seorang panitia  membawa beberapa kantong plastik hitam. Mengumumkan sesuatu yang tak bisa saya dengar dari balik mobil tapi dapat saya mengerti dari gerak geriknya. Ntah ini inisiatif spontan melihat keadaan pesisir pantai yang bersampah atau memang sudah dijadwalkan. Sebagian panitia dan beberapa pengunjung mulai bergerak memungut sampah.
Setengah enggan dengan sebuah payung, saya ikut membantu seorang teman yang sudah lebih sigap bersama kantong plastik sampah. Sembari memunguti sampah saya perhatikan segala jenis sampah yang ada di sini. Rata-rata sampahnya sendal jepit, kantong plastik, tali, bungkus permen, sterofoam, karton, botol, kaleng. Bisa dikategorikan sebagai sampah pendatang, iya turis-turis dadakan macam saya dan orang-orang lainnya ini. “Aha…” Lalu saya tersenyum getir, ini lucu.
Begini, selagi saya dan sebagian yang lain mengumpulkan sampah di pesisir pantai. Di depan tenda panitia, terlihat tumpukan kardus, bungkus sterofoam makanan, gelas aqua, tisu dan segala macam bungkus plastik lainnya. Bukan bermaksud menuduh, tapi bukankah ini seperti yang percuma? Mendatangkan orang untuk mengumpulkan sampah yang ada, orang-orang yang datang  meninggalkan sampah yang baru. Sampah lama ditukar dengan sampah baru. Masalah kembali berulang, sampah kembali tertumpuk. Lalu gunanya?
Jika jawabannya popularitas dan demi mendongkrak nama baik, saya tak punya bantahan ataupun sanggahan. Tapi buat yang lebih tulus pada alam dan tau benar akan tanggung jawab diri sebagai manusia, “Sadari sampahmu dan jadilah pemulung bagi diri sendiri!” Betapa banyak sampah yang sering kita bawa bersama kita? cemilan, rokok, permen, gelas plastik, bungkus kopi, dsb. Jika tiap kita sadar dengan sampah masing-masing, niscaya alam mampu mengurus sampahnya sendiri. Pasti.
Jadi, ingat untuk memulung sampah sendiri ya!
noted: Tulisan ini dibuat tanpa maksud mengecilkan segala gerakan pemungutan sampah yang sedang marak-maraknya terjadi. Ini lebih sebuah refleksi diri dan pengingat untuk sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *