” No matter what, life will judge anyway, so why not live your life the way you want it?” – unknown
Menemukan kutipan yang menohok sepagi ini, cukup membuat saya bangun dengan senyum mengembang penuh. Seperti flashback, saya tersadar kembali dengan apa yang saya jalani setahun belakangan ini.
Terbayang lagi komentar-komentar dan cibiran orang-orang tentang keputusan saya kembali ke Indonesia dan menjadi “pengangguran”. Sudah lebih dari setahun saya memutuskan untuk keluar dari pekerjaan tetap saya di luar negeri, yang menurut sebagian orang sangat menjanjikan untuk menyokong kehidupan. “Gaji USD, lalu mau apa lagi?” begitu kira-kira celetuk mereka. Pandangan dan pertanyaan aneh yang biasanya saya jawab dengan senyum tanpa embel-embel. Saya mulai belajar: menjelaskan sesuatu yang tidak diyakini pendengar adalah hal sia-sia. Keluarkan saja jurus terbaik: senyum, lalu berlalu.
Hanya kepada orang-orang tertentu saya akan menjelaskan tentang mimpi-mimpi yang menghantui saya selama ini. Sesuatu yang membayangi nurani setiap hari. Saya takut mimpi-mimpi itu berubah jadi batu penyesalan jika tak segera saya wujudkan, atau setidaknya coba saya wujudkan.
Saya ingin jadi penulis. Ya, penulis yang mampu membagikan cerita-cerita tentang hidup dan menggerakkan banyak orang.
Memulai sesuatu tentunya tak mulus. Tapi saya bertahan. Cerita seorang teman menguatkan saya. Memberi semacam dukungan bahwa saya ada di jalan yang benar.
Begini ceritanya: setiap orang memiliki passion masing-masing yang biasanya tak disetir oleh uang. Tak jarang passion ini berubah menjadi calling atau panggilan hidup. Untuk mewujudkannya, biasanya kita harus melalui fase inisiasi. Fase di mana orang-orang yang ada di sekeliling mencibir, mencemooh dan meragukan. Ketika kita berhasil melalui fase inisiasi, maka akan ada pintu terbuka dan dukungan Semesta menanti kita. Jalan seperti terbuka. Orang-orang yang tak kita kenal mengulurkan tangan, menawarkan bantuan, meminjamkan pijakan, perintilan-perintilan kecil untuk memastikan kita melaju di jalannya.
Terlepas dari benar tidaknya analisis yang dibaca teman saya di salah satu buku motivasinya, saya meyakini keputusan saya benar. Saya mensyukuri keberanian yang saya miliki. Saya menysukuri teman-teman yang mendukung saya. Saya mensyukuri keluarga yang memberi saya ruang gerak. Saya mensyukuri hidup saya setahun ini, lebih dari yang dapat dijelaskan kata-kata. Bukan dengan materi–tapi dari hidup yang dihidupi secara penuh.
Lalu apa kamu telah menghidupi hidup yang kamu punya?
Jika jawabannya belum, rasanya tak ada kata terlambat untuk menggapainya. Saya mulai memimpikan diri jadi penulis sejak duduk di SD dan mengemari pelajaran mengarang. Namun, baru setelah berumur 29 tahun saya berani mengakui keinginan ini. Bodoh? Entah. Tapi setidaknya saya jujur dengan diri saya dan tak ingin berhutang maaf pada diri sendiri kelak.
Apa yang akan dikatakan dunia biar jadi urusan dunia, sedangkan apa yang akan saya buat dengan hidup saya adalah sepenuhnya tanggung jawab saya. Saya tak ingin menyesal, tak ingin kelak di helaan nafas terakhir saya ada sesal yang bernama “andai”.
Apakah kamu juga, seperti saya, punya mimpi terdalam yang disimpan jauh di lipatan hati? Apakah kamu, seperti saya, punya sedikit keberanian untuk mempertimbangkannya kembali? Karena bukankah tak ada yang salah dengan memulai kembali? Bukankah hidup adalah rentetan pembelajaran yang hanya putus saat jantung berhenti berdetak?
*tulisan ini sudah dipublish di http://www.kamantara.id/post/menghidupi-hidup
Leave a Reply