Tidak. Tak ada satu orang pun di dunia ini yang terbiasa dengan patah hati. Tak peduli seberapa sering dan seberapa mirip cara kita dicampakkan cinta. Tiap patah hati punya derajat kesakitannya tersendiri, tak bisa dibandingkan satu dengan yang lain.
Menyoal hati, kita semua tentu sepakat: rasa-rasa itu tak pernah bisa dijelaskan dengan kata-kata. Tapi, saya yakin kita sepakat bahwa tiap kisah cinta punya rasanya masing-masing. Rasa unik yang hanya bisa kita peroleh dengan orang yang itu di waktu yang itu.
Spesifik.
Hal ini juga saya yakini terjadi pada setiap luka yang disebabkan oleh patah hati. Entah dengan cara apapun itu, entah menghancurkan bejana hatimu atau merobek setengah jiwamu, satu yang pasti: pun, tak ada patah yang betul-betul identik.
Lalu, bagaimana mungkin kita mampu terbiasa dengan sesuatu yang tak dapat kita tebak bentuknya?
Tiap patah hati punya transformasi rasa sakitnya sendiri. Patah hati semacam ini bukan semacam materi pelajaran yang dapat kita hafal di luar kepala, atau bisa membuat kita terbiasa dengan rasa sakitnya. Bukan. Luka-luka dari patah hati itu seperti rajah yang tak serupa, namun melalui sakit yang sama untuk melekat di hatimu.
“Umur gue sudah 37 tahun, harusnya kan sudah biasa sama patah hati, ya,” curhat seorang teman lama pada tengah malam membuat saya berpikir banyak tentang patah hati.
Tentu, pernyataan itu saya jawab dengan cepat.
Tidak. Tak ada satu orang pun di dunia ini yang terbiasa dengan patah hati. Tak peduli seberapa sering dan seberapa mirip cara kita dicampakkan cinta. Tiap patah hati punya derajat kesakitannya tersendiri, tak bisa dibandingkan satu dengan yang lain.
Bahkan jika itu dengan orang yang sama lagi dan lagi sekalipun, ia akan merupa patah-patah lain yang tak serupa. Rasa hancur dan perihnya punya rasa yang berbeda, tapi sama-sama akan membekas di sini.
Di ruang hati.
Patah hati mungkin memang bukan sesuatu untuk dibiasakan atau untuk dianggap biasa. Ia unik, karena ia menunjukkan kepada kita betapa kita telah mencintai. Ia datang sepaket dengan luka dan pelajaran-pelajaran yang diberikannya, agar kita lebih mengenal diri sendiri. Memahami apa yang kita sukai, dan apa yang kurang kita sukai. Mengerti arti kehadiran orang-orang dalam kehidupan kita, menghargai rasa dan peran yang mereka mainkan, lalu belajar merelakan ketika tiba saatnya melepaskan.
Jadi, mari berteman dengan patah hati. Rasanya memang tak mengenakkan, dan kita tak akan pernah terbiasa akannya. Tetapi percayalah, bahwa hati kita begitu kuat dan lapang, dan selalu ada alasan baginya untuk mencintai: lagi, dan lagi, dan lagi.
Karena jika kita diciptakan dengan imaji Sang Pencipta, bukankah Ia, sejatinya, juga penuh kasih
*tulisan sebelumnya dipublish di kamantara.id
Leave a Reply