Cukup

“Lia, kapan sih cukupmu?”

Pertanyaan ini berputar-putar di kepala beberapa minggu terakhir. Terutama di jamaknya segala pekerjaan yang sedang menuntut perhatian dan berkah tawaran pekerjaan yang terus bermunculan.

Tawaran lain datang, pertanyaan ini kembali berulang namun tawaran tersebut saya terima, lagi.

DANG.

Sampai di awal minggu lalu, saya harus meringkuk di IGD dengan diagnosa GERD.

“Deadlinenya ada berapa?” tanya seorang teman baik yang tau ritme kerja dan kepala saya yang tak bisa diam.

Cukup banyak. Cukup membuat saya gila. Cukup membuat saya mengkorupi jadwal tubuh. Cukup membuat kadar stres saya meningkat. Cukup membuat saya terkapar. Cukup. Ini mungkin cukup yang sedari beberapa minggu lalu ingin disampaikan tubuh namun tak saya acuhkan.

Sebagai freelancer yang tau pasti tak ada jaminan pasti keberlangsungan pendapatan di hari-hari selanjutnya. Kata cukup itu sering kali terasa sangat berat. Setengahnya ada rasa tak bersyukur, setengahnya ada rasa bodoh melepaskan kesempatan. Ini hal yang mungkin sering tak dipahami oleh orang-orang yang bekerja di kantor.

Kebebasan yang ada untuk memilih tak kala membuat freelancer kebabalasan dengan dirinya. Lupa bahwa diri juga butuh waktu. Lupa bahwa bukankah kebebasan memilih itu sendiri yang selama ini kita junjung tinggi?

Pengalaman kemarin seperti tamparan kuat dan tendangan tepat ke ulu hati.  “Lia, kapan sih cukupmu?” Belajar jadi freelancer itu sepaket dengan belajar tentang kata cukup. Mencukupkan diri dengan yang ada, mencukupkan diri dengan yang mampu. Mengerti dan paham kemampuan diri, jadi tuan atas diri dan menekan rem di waktu yang tepat.

PS: Dear myself, mari belajar membelok dan berhenti sebelum mengantuk. Jangan menunggu tubrukan lagi ya! ^^

 

 

Bandung, 2019-03-15

ivy

*biru yang masih babak belur akibat tabrakan

 


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *