Batasan

“Batasan mana yang sebenarnya kamu pertanyakan?” tanya saya dalam hati.

Perbincangan tentang batas, sudah menjadi topik lama yang selalu muncul lagi dan lagi di hampir seluruh tulisan dan jurnal saya dalam 10 tahun terakhir. Di mulai dari pertanyaan di mana batas antara pejuang dan pecundang? Pertanyaan tersebut terus melebar ke hampir seluruh ranah kehidupan hingga ke ranah pribadi. Seperti pekerjaan yang layak, kesuksesan dalam hidup hingga ke relasi personal tentang batasan menjadi anak berbakti dan baik budi pekerti.

Sepanjang 36 tahun hidup saya, batasan-batasan tak kasat mata itu selalu coba saya raba. Telusuri dan pelajari, kalau-kalau bisa dijadikan pembelajaran untuk kejadian-kejadian selanjutnya. Namun seringnya, situasi yang satu tak pernah bisa disamakan dengan situasi lainnya, sehingga semua usaha itu kembali membuatnya nihil.

Namun dalam perjuangan meraba pola tersebut, sebuah penemuan muncul. “Batasan apa yang sebenarnya saya ingin temukan?”

Seperti rumah, yang memiliki gerbang luar dan pintu rumah, batasan di dalam hidup ini rupanya juga tak hanya 1 pintu besi kaku. Batasan tersebut terbagi menjadi batasan dalam diri (kemampuan dan kesanggupan) dan batasan dari luar.

Rupa-rupanya, selama ini saya sering mencampurkan kedua batasan ini. Menggunakan batasan yang satu sebagai batasan yang lain. Hal yang paling sering, tentu saja menggunakan batasan dari luar entah itu permintaan orang tua, tulisan pada kitab-kitab suci, norma kesopanan yang diakui bersama, segan atau segala kultur kepantasan lainnya menjadi batasan ke (dalam) diri.

Di umur paruh baya ini baru saya sadari bahwa menghilangkan ruang jeda kecil antara batas dalam dan batas luar punya efek yang besar. Beranda ini berfungsi sebagai tempat bertimbang, tempat untuk sadar tentang keberadaan diri. Meniadakan batasan (dalam) diri tersebut tak berbeda dengan menghilangkan diri dan menjadikan dunia luar sebagai penentu diri.

Menemukan potongan permenungan ini sungguh membuat saya tercegang. Seperti menemukan peta untuk potongan puzzle yang dikerjakan. People pleaser? Tentu saja. Karena diri ditentukan oleh cetakan luar yang melebar dan mengkerut dengan waktu. FOMO? Jelas. Diri merasa butuh memenuhi semua garis-garis batas semu yang dibuat oleh dunia luar.

Kemudian ada AHA dalam hening saya. Jangan-jangan kehilangan beranda ini yang melatar belakangi mengapa saya selalu punya isu dengan ruang. Ruang kecil, ruang jeda ini yang hilang selama ini dalam perjalann hidup saya. Ruang untuk menakar, ruang untuk bertimbang dan ruang untuk menentukan batasan dalam diri. Ruang untuk menyadari bahwa apa yang dikata baik bagi dunia tak serta merta harus mendefinisikan diri saya.

Ada diri yang bisa memilih bagaimana merespon kepada dunia luar.

Cirebon, 2022-12-28

ivy



Posted

in

,

by

Tags:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *