Tuhannn…
Lama juga aku tak menulis surat untukmu..
Mungkin setiap malam kupanjatkan doa yang isinya tak jauh berbeda, yang hanya membuatMu bosan mendengarkannya. Sebenarnya aku tak tau bagaimana cara berdoa yang benar, aku hanya mencoba dan menerima masukan dari semua. Kata mereka begitu cara yang tepat, ntahh..
Di awal aku begitu yakin akan hal itu dan melakukannya dengan penuh harapan. Berselang beberapa waktu, harapanku menciut dan mengecil! “Dasar kerdil!” batinku pada diri sendiri. Kadang aku rindu bisa berkata-kata tanpa aturan dan segala macam tetek bengek kebutuhan dan permohonanku. Bukan intens tapi intim dan tak terganggu! Hanya cerita biasa tentang segala hidupku, memperlihatkan betapa gendutnya aku sekarang. Memperlihatkan betapa berani dan nekadnya Lia yang sekarang. Banyak hal yang membuat anakMu -jika pantas aku menyebut diriku begini- berubah dalam selang waktu sekejap ini.
Akh..terkadang aku malu untuk menghadap padaMu, Bapa! Sepertinya tak ada hal yang bisa kubanggakan. Aku terlalu lemah! Selalu saja merangkak pada kakiMu dan meminta semua bantuan yang mungkin terjadi, atau malah termasuk yang tak mungkin juga. Aku terlalu sering melirik iri pada rumput tetangga, bukannya berterima kasih. Kapan aku bisa memahami tak semua yang terbaik akan membuatku bahagia?
Tak bisakah otakku yang terbatas ini sedikit mengerti bahwa Engkau bukan doraemon yang akan mengabulkan semua permintaan nobitha, dan kita bukan nobitha. Ini dunai nyata bukan komik! Ada arti dibalik setiap hal yang terjadi. Ini bukan kisah cinderella yang telah selesai ditulis akhirnya dan diketahui oleh semua umat di dunia. Ini jalan hidup yang memang tak mungkin bisa direka-reka hanya bisa dijalani dengan penuh keyakinan! Ya yakin! itu yang hampir hilang dariku.
Bagaimana caranya menyadarkan seonggok daging ini, bahwa dia hidup karena kemurahan hatiMu? Tak ada satu makhlukpun yang bergerak tanpa seizinNya. “Mengapa masih saja kau ragukan kekuatanNya?” lagi-lagi aku membatin. Belum terangkai kata di bibirmu pasti telah jelas bagiNya apa yang akan keluar dari mulutmu. Untuk apa terus meracau dengan setengah hati seperti itu? Benahi diri.
Aku benar-benar malu untuk menorehkan permintaanku yang pastinya begitu egois dan kekanak-kanakan ke dalam kata dan tulisan. Biar Kamu saja yang menilai dan memutuskannya, Bapa! huff. aku sungguh tak tau bagaimana caranya mengatur hati dan hanya bercerita padaMu, tanpa embel-embel permintaan sebagai akhir. Bisakah aku menjadi setegar itu? Membawa serupa hati yang sangat pasrah dan hanya menerima semua jalanMu tanpa mempertanyakan dan menghakimi dengan rasa manusiaku ini?
Sepertinya tidak! Lagi-lagi surat inipun jadi terkotori oleh segala curahan hati dan embel-embel permintaanku. Apa sebaiknya aku hanya menatapMu lekat dan berkata dalam hening, Bapa? Menyerahkan kekhusyukan yang tak terusik oleh segala pikiran dan permintaanku yang hanya akan memporak porandakan rencana surgawiMu.
Kuakhiri saja suratku ini, sebelum menjadi bertambah carut marut. Mungkin akan kusambung di suratku selanjutnya, dan semoga di sana akan terlihat hati yang lebih pasrah dan menerima. Amien..
bandung, 2009-08-23
ivy
*try to understand Ur way
Leave a Reply