~Setelah perjuangan beberapa kali mengelilingi taman lalu lintas dan bertanya ke beberapa orang, akhirnya orang ke 5 membantu menunjukkan tempat yang saya cari-cari. Cukup sulit menemukan tempat itu bagi orang awam seperti saya. Tapi semua usaha dan kekesalan itu terbayar tuntas dengan apa yang saya dapatkan kemarin malam, di Tobucil.~
Ini kali pertama saya mendatangi Toko Buku Kecil yang biasa disingkat dengan “Tobucil”. Saat pertama menginjakkan kaki di sana saya sedikit bingung. Tak ada papan penunjuk lain selain kata open di bagian dalam sebuah rumah. Dengan semua keberanian yang ada saya beranikan diri untuk masuk dan melewati kerumunan di kantin depan toko buku itu, semua asing. Tapi saya berkata dalam hati, “Kalau pulang sekarang, sia-sia usaha saya ngiter-ngiter setengah jam untuk mencari tempat ini! Bless me God!” .
Setelah beberapa waktu melihat-lihat toko buku tersebut, saya menemukan sebuah buku yang membuat saya tertarik dan memutuskan untuk memboyongnya. Dengan sisa keberanian yang ada saya beranikan diri untuk sedikit bertanya tentang klab yang diadakan Tobucil. Sebenarnya tentang hal itu telah saya ketahui dari blog, hanya saya tak yakin bagaimana cara ikut serta dalam klab tersebut. Sedikit bersiasat tak apa lah! Yipy.. mbak kasir menunjukkan di mana madrasah falsafah yang memang adalah tujuan saya datang ke sini, bahkan mengantarkan saya. Terima kasih mbak! Kita akan sering bertemu nantinya, saya harap.
4 orang pertama yang saya kenal di madrasah falsafah, Mas Tanto yang waktu itu sedang sibuk menyelesaikan karya tengkoraknya, Mas Ami yang sedang asyik merokok, Mbak Eci dan Mbak Winni yang sibuk bermain laptoop. Semuanya sangat welcome dengan kedatangan orang baru ternyata. Hanya sesaat saya merasa canggung, lalu semua mencair bersama dengan waktu. Tak lama saya bertemu dengan Dea, seseorang yang sering saya baca tulisannya di blog tobucil. Tak lama Mas Amipun membuka madrasah filsafat hari itu yang bertema “belenggu”.
Di mulai dengan kutipan Plato yang berkata “ Tubuh kita adalah sesuatu yang membelenggu kita di dunia.” ( koreksi saya jika salah! =b ) diskusi itupun dibuka. Ini lebih seperti bincang-bincang bermakna ketimbang diskusi bagi saya. Tak ada aturan pasti dan tertulis di sini, setiap orang bebas menimpali dan mengeluarkan uneq-uneq pemikirannya, saya suka.
Selama ini manusia selalu terikat dengan belenggu. Ntah itu belenggu yang disadari ataupun yang tidak disadari. Peraturan tertulis dan tidak tertulis yang membelenggu, norma, mitos serta kepercayaan-kepercayaan yang ada di suatu daerah juga merupakan belenggu tersendiri. Status sosial, derajat, gender, orang tua, serta segala petatah dan petitih nenek moyang yang mungkin saja menjadi belenggu bagi sebagian orang.
Bagaimana hidup manusia tanpa “belenggu” ? Dea menimpali, jika manusia hidup tanpa belenggu, kebebasaan yang mutlak itupun akan menjadi “belenggu” yang lebih mengerikan bagi manusia. Jadi sebenarnya belenggu itu perlukah? Tanpa belenggu manusia terbelenggu dengan belenggu manusia merasa belegug?! Lho? Itu hanya omongan usil Mbak Eci yang coba menghubungkan belenggu dan belegug.
Saya coba merangkum ketakjelasan belenggu kata-kata di atas. Kata-kata sendiri sebenarnya belenggu bagi rasa dan pikiran yang sedang kita rasakan. Tapi tanpa kata-kata kita justru tak bisa mengungkapkan perasaan kita, yang lalu dapat dimengerti oleh semua orang. Sebenarnya mengungkapkan cukup berbeda dengan dimengerti. Itu 2 hal yang tak bisa disamakan! Untuk kasus ini, kata-kata lebih dibutuhkan untuk berhubungan dengan orang lain, dimengerti.
Saya coba merangkum semua hal yang saya dapatkan di Tobucil kemarin malam tentunya tak lepas dari keterbatasan dan belenggu-belenggu saya. Belenggu saya umpamakan sebagai bingkai! Bingkai itu sesuatu yang menghalangi sekaligus melindungi. Bingkai yang terlalu ketat akan membuat benda yang dilindunginya menjadi rusak, alias “pagar makan tanaman”. Bingkai yang terlalu longgar malah akan menghabiskan tempat secara berlebihan. Tanpa bingkai terkadang malah membuat si empunya terluka dengan segala kebejatan yang ada.
Bagi saya secara pribadi, lebih memilih untuk berkompromi dengan bingkai tersebut. Ntah karena saya telah terlalu terbiasa dengan bingkai saya, dan tak berani berpikir apa yang akan saya hadapi tanpa bingkai itu. Tapi itu pilihan saya! Kadang menggelitik tanya dari balik kalbu, apakah saya akan tetap menjadi saya tanpa bingkai saya yang ini? Bagaimana jadinya saya dalam bingkai yang lain? Pertanyaan unik yang tak berujung menurut saya, toh sekarang saya di sini dengan bingkai itu. Rasanya tak perlu lagi mempertanyakan seperti apa jadinya saya tanpa “bingkai” itu.
Pengetahuan baru yang luar biasa menarik tentang asal muasal tarian Salsa, saya dapatkan dari Mbak Eci. Tarian salsa yang mempunyai langkah kecil-kecil tersebut, berasal dari budak belian perkebunan kopi yang ada di Brazil. Budak belian yang terbelenggu secera fisik dengan rantai, masih bisa bebas berkreasi dan menciptakan sebuah tarian yang begitu indah. Cerita yang benar-benar menginspirasi!
Sedang kita yang bebas secara fisik malah sering membelenggu diri dengan pikiran-pikiran kita. Yaa..lupa saya cantumkan! Pikiran adalah belenggu terberat yang pernah ada, setidaknya begitu menurut saya. Orang yang terbelenggu secara fisik masih dapat dibantu. Sedang orang yang terbelenggu pikirannya, akan sama saja dengan orang yang menderita kanker stadium tinggi. Penyakit itu akan terus dan terus menggrogotinya hingga yang tertinggal adalah kosong.
Jadi intinya kita sedang dalam pencarian belenggu. Belenggu yang bisa diajak berkompromi menurut Mas Ami. Pendapat lucu yang saya suka keluar dari mulut mbak Eci, “ya.. belenggu yang tidak belegug!”. Jikalau saya boleh sedikit menambahkan, saya sedang dalam pencarian belenggu yang tidak membuat saya menjadi belegug!
Belenggu itu sesuatu yang mau atau tidak mau memang kita butuhkan. Menyadari kehadiran belenggu itu dan belajar untuk beradaptasi dengannya adalah 2 hal awal yang saya nilai butuh untuk kita masing-masing lakukan agar tidak menjadi belegug karena belenggu! Buatlah belenggu itu menjadi bingkai yang akan melindungi kita bukan malah menyakiti! Mari sama-sama melanjutkan perjalanan ini, hingga akhirnya kita lepas dari belenggu kita di dunia, yaitu tubuh.
Bandung,2009-08-20
Ivy
Tulisan ini juga dipublishkan di blog berikut :
http://tobucil.blogspot.com/2009/08/belenggu.html
Leave a Reply