The Wind Will Carry Us 

“Prefer the present to those fine promises…” ini satu dari banyak pesan bermakna yang disampaikan dalam film besutan sutradara Iran Abbas Kiarostami dalam film the wind will carry us. 

Film dengan durasi hampir dua jam ini mengajak kita ke sebuah kota kecil di Iran. Dibuka dengan perdebatan di dalam mobil antara pengelana dalam perjalanan mencari kota bernama Siah Darreh. 

Ibarat lukisan, film ini seperti kanvas putih yang memperlihatkan guratan-guratannya perlahan namun pasti. Dialog yang kuat dipakai sebagai kail yang membuat pembaca tetap mengikuti film yang penuh lika liku ini. Penuh dengan ruang intepretasi. Setting tempat yang indah menjadi tambahan pemikat lainnya.

“How was she?” pertanyaan ini terus berulang. Misi pengelanaan ini, menanti kematian seorang wanita tua yang berumur lebih dari 100 tahun. Terdengar aneh? Ya, film ini memang bukan film yang lancar bertutur meskipun menceritakan kisah keseharian yang begitu dekat dengan kita. 

Film ini butuh kerendahan hati dan kalapangan dada untuk dipahami.  Seperti kaca yang membuat kita mematung sesaat dan memanut bayangan di dalam sana. 

Ada banyak watak satu atau lainnya yang jika diresapi terasa sebegitu dekat dengan diri kita. Persahabatan antara anak kecil dan orang dewasa dipotret begitu hangat. Perbincangan hari-hari yang dibungkus dengan makna yang mendalam. Ibarat kado, film ini dibungkus rapi dan manis dengan puisi yang begitu puitis dan penuh makna.

Transformasi terbesar yang terjadi di film ini adalah cara pandang tokoh utama yang dikenal dengan sebutan Tuan Engineer memandang orang lain. Dari objek menjadi subjek. Dari cerita tentang sesuatu di luar sana menjadi sesuatu yang begitu pribadi. Menyentuh dan tinggal berhari-hari di hati. 

Picture from google

Aneh, indah sekaligus dramatis. Satu lagi pesan penting yang dituturkan dalam film ini, 

“Old ages are a terrible illnesses. Yes. But there are worse illnesses. Death. Death is the worse. When you close your eyes on this world, this beauty, the wonders of nature n generosity of God, it’s means you’ll never be coming back.”

Desa Cipaku Purbalingga, 2018-11-15

Ivy


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *