Dulu, di awal kedekatan kita, aku ingat pernah berkata padamu,

“Aku dengar kabar burung katanya kamu seniman lantang, dulu. Yang menjadikan gerbang dan atap sebagai panggungmu berpuisi, berorasi.” 

Lalu kamu tersenyum dan memandangku dalam dan tenang.

“Akh itu dulu..” 

Kulanjutkan meminta,

“Maka buatkanlah aku puisi..” ucapku sembari mengerling manja.

Permintaan yang hanya kau senyumi. Berjalan mendekat lalu mendekap dan mengecupku sambil berkata.

“Manjanyaaaaa..”

Meminta permintaan yang sama berkali-kali, rasanya tentu bukan sekedar untuk menggoda. Aku yakin kamu tau aku sebegitu ingin mendengar puisi buatanmu untukku. Tapi, setelah setahun berlalu aku terlalu lelah bahkan untuk mengucapkannya. 

Nah, mungkin hal itu juga yang di satu masa membuatmu kemudian melakukan hal tak tertebak yang tentu tak akan aku lupa.

Begini, di suatu malam di dalam kamar sempitku. Pada meja di ujung dipanku di mana semua buku-bukuku tersebar. Aku ingat sedang menerima telepon, tapi entah dari siapa. Kamu duduk di celah sempit antara kasur dan meja, menarik sebuah buku puisi. Membolak baliknya.

Seberes kututup telepon, aku bertanya, “Bagus?” Aku tau persis tingginya nilai senimu. Buku di tanganmu karangan penulis muda. Kamu tak menjawab hanya memberi mimik,

“yaa.. lumayan lah.” 

Lalu, merubah arah dudukmu. Memandangku dengan lurus lalu mulai membacakan puisi hanya untukku. Puisi berjudul Sepeda Tua dari Adimas Immanuel. 

 
Lalu apa lagi yang bisa kukata. Dipandang langsung dan dibacakan puisi khusus untukmu, punya sensasi magis yang tak terlupa. Hal yang paling kuingat tentu saja ekpresi dan intonasimu. Terpatri.

Kamu tau, berlalu hampir setahun aku kemudian berpikir. Apa ini maksudnya kamu tak pernah mau membuatkanku puisi? Agar kelak aku bisa melupakanmu?

Ya setidaknya mencoba menghapusmu dari kepala dan meluruhkannya jadi kata.

Tenang, tak lagi ada kamu di sini, hanya ada kenanganmu dan aku.

Dago, 2018-10-2

Ivy