Hari ini persis 5 tahun yang lalu mama menghembuskan nafas terakhirnya dan resmi membuat saya menjadi yatim piatu. Pengalaman yang sungguh menggoncang hidup.
Seberapa tergoncang? Saya selalu menggunakan analogi begini setiap menggambarkannya, kehilangan ayah 5 tahun lebih awal itu seperti kehilangan atap, tapi saat itu masih ada tanah untuk dipijak. Kehilangan ibu itu seperti kehilangan pijakan, kamu jatuh terperosok ke dasar terdalam. Apalagi jika kejadiannya cukup tiba-tiba, sungguh sukses memporak porandakan mental dan terus bertanya-tanya “what if…”
Di tahun-tahun selanjutnya, saya belajar menata kembali semuanya. PR besar yang butuh dihadapi ada dua, ketakutan akan kehilangan yang penting secara tiba-tiba dan tentunya kehilangan itu sendiri. Ada segunung ketakutan menghantui di tahun-tahun pertama dan kedua, bagaimana jika kesalahan kecilmu memantik hal besar lain yang efeknya tak mampu kamu perbaiki? Bagaimana jika ini jika itu? Hidup seakan di medan perang menanti sang penyerang yang bisa datang kapan saja. Tubuh penuh ketenggangan, memasang kuda-kuda untuk terus bersiaga.Kepala penuh dengan akumulasi pemikiran akan segala skenario.
Untuk kehilangan, proses meditasi yang sebelumnya membantu saya melepaskan ayah kembali menjadi selimut terbaik untuk menyicil luka. Duduk diam, melihat segala pemikiran dan penghakiman atas diri pelan-pelan luruh. Duduk diam, melihat bahwa segala sesal tak membawa hal baik apapun untuk diri. Duduk diam dan tersadar bahwa betapa ayah dan ibu pasti mengharapkan yang terbaik untuk anaknya. Duduk diam dan menyadari bahwa ibu mendapatkan persis sesuai dengan apa yang selama ini dipintanya.
“Kalau boleh, gua pergi ga usa lah nyusahin orang…” ucapnya berkali-kali sejak kepergian ayah yang sebelumnya membuat keluarga kami jadi penggunjung rutin RS selama beberapa bulan. Ucapanmu adalah doa, menjadi hal yang benar adanya untuk ibu. Ibu pergi begitu ringan, di ranjang IGD, di saat seorang dokter sedang memeriksanya dengan stetoskop. Dilihat dari sini, bukannya mimpi itu tergenapi? Lalu perlahan-lahan ada lega yang menjalari diri.
Memasuki tahun kelima, ada yang sedikit berbeda. Baru di saat ini, saya merasa mampu meralakan segala penyesalan dan melepaskan ibu untuk kembali lagi ke diri. Ke posisi di mana saya sebelumnya berdiri dan berlari, posisi di mana saya sedang merasa begitu kenal dan dekat dengan diri. Seakan ada tangan yang menyambut dan menyoraki, “finally you are back…”
Kembali percaya pada tangan-tangan semesta. Pun perjalanan untuk sampai dan ada di sini sebegitu ringan dan mudah. Sebegitu banyak kebetulan yang menghampiri dan memastikan semuanya lancar. Hal yang saya percaya sebagai pertanda semesta, “segala hal yang terasa dimudahkan dan dilapangkan niscaya adalah jalan…”
Lima tahun sebelumnya seperti wahana tergelap yang pernah saya lewati dalam hidup dan pun ternyata meski lambat dan tertatih saya mampu merangkak kembali dan menemukan cahaya di ujung jalan. Ma, terima kasih untuk semua cinta, waktu, usaha dan kasih termasuk untuk semua jungkir balik rasa yang menyertai kepergianmu. Terima kasih, terima kasih, terima kasih, pelajaranku utuh. Semisal berjodoh, mungkin kita bisa bersua di kehidupan lainnya.

Ma, Pa i love you…
Peluk sayang dan rindu selalu untukmu.
Dari Anak perempuannya yang selalu bawel
Padang, 2025-03-14