Menyoal Doa

Pagi itu tidak ada yang benar-benar berbeda dari biasanya, selain keinginan mengunjungi toilet yang sama tingginya dengan hasrat membuka lembaran jurnal kosong. Tujuannya tentu saja sama, tak lain dan tak bukan untuk sama-sama menuntaskan hasrat.

Keinginan untuk memuntahkan kata-kata pagi itu terhitung cukup tinggi meski biasanya ada beberapa kategori menyoal hal ini. Ada ide yang tiba-tiba terlintas, ada sekelebat mimpi yang jika tak buru-buru dikeluarkan dalam bentuk kata-kata akan raib bersama dengan kelambu kabut yang diterpa surya. Ada juga yang setelah didudukkan di depan kertas kosong atau layar kosong seakan ngadat dan macet. Hasrat yang terakhir, sebenarnya kategori yang paling jarang yaitu hasrat kuat yang seringnya muncul dari kristal pengetahuan. Hasrat ini tak seperti ide lewat yang bisa dengan begitu mudah raib atau tumpah dari kepala. Kategori ini yang muncul pagi itu.

Ada semacam pengetahuan kokoh yang mengakar dan tertanam entah dari mana. Hanya ada sedikit rasa asing, bahwa ada rumusan baru yang bersarang di kepala. Tidak bertele-tele, tapi pengertian dan pemahaman yang sangat jelas tentang suatu konsep. Seperti resep masakan keluarga yang ada di kepala ibumu yang diingatnya bukan hanya dengan memori tapi dengan setiap takaran pada tangannya. 

Saya mengambil jurnal dan memulai membuka lembaran baru. Mengambil pena hi-tech gadungan, bolpen bertinta biru dengan ujung 0,28 mm yang selalu jadi pena kerja saya. Mulai menuliskan kata-kata yang terlalu bijak, yang sembari dituliskan butuh dibaca ulang dan diproses. Kata-kata yang membuatmu, memandang-mandang mukamu pada cermin kecil di meja dan bertanya-tanya,  “Ini dari mana ya?”

Pemahaman baru ini muncul seperti racauan atau percakapan yang terjadi di dalam kepala. Seakan ada entitas yang lebih besar dari sang diri dan mengajakmu berbincang-bincang. Hal yang paling aneh, semua terjadi sepersekian detik dan dengan segera kamu punya jawaban, pengertian dan pemahaman tersebut.

Perbincangan imaginer itu berjalan seperti ini, “Pernah gak berpikir mengapa doamu tidak dikabulkan oleh Tuhan, Dewa, Nabi, semesta atau apapun nama yang disematkan pada kekuatan besar di luar diri?” tanya saya pada diri. Pertanyaan yang dalam sepersekian detik terjawab sendiri. “Doa atau permintaannya salah bentuk, salah sasaran atau menyalahi kodrat alam” Lalu saya mengangguk-anggukkan kepala. “Nah..” 

Analogi sederhananya, bak burung yang meminta mampu berenang, pohon mangga yang ingin punya buah pete, ikan yang ingin berjalan dengan kaki, manusia yang ingin terbang tanpa pesawat, dan awan gelap yang berharap memuntahkan pelangi.

Doa apa yang selama ini kamu pinta? Apakah doa tersebut sesuatu yang menyalahi kodrat? menyalahi hukum semesta? atau sesuatu yang semu semata?

DEG.. Doa-doa semacam ini tentunya seperti mengharapkan dunia yang lebih tua dari moyang kita ini, yang penuh dengan berbagai cerita dan warna-warni menjadi satu warna yaitu warna kesukaanmu, maumu, pintamu. Dan ketika hal tersebut tak terjadi, kamu menjadi kecewa dan menyalakan semesta.

Hal tambahannya, kadang kita juga sering lupa doa yang kita pinta tidak datang dalam bentuk yang persis sama. Meminta kekuatan atau minta ketabahan maka harus siap dengan pencobaan dan kesulitan. Kekuatan tak muncul di kala tenang, pun ketabahan tak akan terbentuk di tengah kecukupan. Atau jangan-jangan meminta sesuatu tapi mengharapkan usaha dikerjakan orang lain. Pokoknya jangan saya yang susah #ehh

Maka benarlah kata Soren Kiekengard yang berkata fungsi doa bukan untuk merubah Tuhan, tapi untuk merubah pendoa untuk akhirnya sadar dan mampu melihat dan menerima mana yang nyata dan maya. Menyadari hal-hal apa yang tak mungkin dirubah, dan hal-hal apa yang perlu diusahakan. 

“Mintalah maka kamu akan diberi..” tiba-tiba potongan kalimat ini melintas di kepala. Ada kebenaran yang sama di potongan kalimat injil tersebut. Maka berhati-hatilah dengan doamu, jangan-jangan doa tersebut bukan tidak dikabulkan tapi tidak mungkin menjadi kenyataan, atau doa tersebut sedang dipintal dan cepat atau lambat akan diberikan padamu melalui jalan-jalan lainnya.

Kesadaran ini seperti bisul besar yang akhirnya pecah, ada “Aha” yang melegakan, dan ada “amin” yang menenangkan. Hendaknya tulisan ini jadi pengingat bagi diri sendiri tentang semua doa yang dilantunkan dan mungkin belum menemukan muara jawaban.

Bandung, 2025-5-17

ivy


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *