Dari Meja ke Meja

Ada banyak sekali kejadian luar biasa yang tumpang tindih di tahun 2024 ini dan membuat saya berjeda dari menulis. Belum selesai memamah makna yang satu, sudah kembali dihadapkan dengan kejadian baru. Terus dan terus bak roda yang tak sudah untuk berputar.

Di tengah kebingungan, keterseoak-seokan penerimaan dan megap-megap mencari makna ada satu benang merah kenyataan yang selalu muncul, lagi dan lagi.

Percaya, semesta selalu punya cara jeli untuk memastikan apa-apa yang mesti terjadi, pasti terjadi.

~blueismycolour

Cerita ini satu dari banyak buktinya.

Saya dan patner sedari awal sepakat memilih cara sederhana dan tanpa gempita untuk mengikat janji. Bagi kami segala pesta mewah dan label raja dan ratu semalam hanya romantisasi picisan demi kelangsungan industri. Janji suci terperting hanya butuh dipatri di dalam hati antara saya, patner dan semesta. Ok, demi kelancaran hidup di Indonesia, maka butuh dipastikan sah di mata hukum. Sesederhana melakukan proses administrasi tanpa pesta dan selebrasi

Mengingat bahwa di Asia pernikahan adalah percampuran dua keluarga besar yang berisi puluhan kalau bukan ratusan keinginan yang menuntut untuk dipenuhi. Keinginan untuk menghilangkan segala perintilan tentang selebrasi tentu ditentang dari kiri dan kanan. Dengan berbagai alasan yang sebenarnya menjadi penting hanya karena dipercayai secara kolektif. Singkat cerita, dengan diskusi alot akhirnya ditemukanlah formulasi yang agaknya bisa memuaskan semua pihak.

Dalam perjalanan untuk memantapkannya, sebuah kejadian besar terjadi. Ibu dari patner saya menutup usia di tengah ketiba-tibaan.

‘Boom’ segala hal yang direncanakan menjadi teraduk-aduk. Rencana sederhana tadi melebar menjadi rentetan tradisi memperingati mendiang yang akhirnya membawa kami dari meja sembahyang satu ke meja sembahyang lainnya.

Sembari mengikuti tradisi melakukan selebrasi di batasan 100 hari sebelum kepergian mendiang, tanggal 22 September 2024 di Kota Bengkoang kami mengadakan selebrasi yang tak lagi bisa dibilang kecil.

Bersama dengan hio yang mengayun-ayun dari satu meja ke meja lainnya di dalam Kelenteng See Hin Kiong, saya membayangkan ibu dari sang patner tengah tersenyum-senyum memandang kami di atas sana bersama dengan mama dan papa saya. Beliau yang sedari awal membantah mentah-mentah rencana kami untuk tidak merayakan pernikahan. Hey di sini kami sekarang merayakannya di dua kota terpisah, di Padang dan sekali lagi di Bandung segera di bulan depan.

Maka benarlah adanya pepatah lama yang berkata, manusia boleh berencana, tapi semesta yang akan menentukan.

Berbulan-bulan bergelut melawan keinginan semesta, saya sadar perjuangan itu tak akan pernah saya menangkan. Untuk apa membuang energi dan tenaga mengharapkan pilihan yang tak lagi tersedia? atau berpegang teguh pada rencana lalu yang tak lagi konsisten dengan kenyataan? Segala peristiwa yang diizinkan terjadi pada kita bertujuan sebagai umpan untuk membuat kita bertumbuh dan menjadi luwes. Tidak melekatkan diri pada satu rencana, pada satu persepsi, satu mimpi ataupun satu label dan narasi tertentu, hanya dengan begini barulah hidup dapat dijalankan dengan langkah yang lebih ringan. Melihat ketidaksesuaian dengan rencana(mu) bukan sebagai kegagalan tapi kesempatan (berkembang).

Mari belajar untuk lebih peka dengan suara semesta dan mengalir bersamanya. Di sudut terdalam sanubari sepertinya semesta sering kali berbisik:

Have some faith, shut your mouth and let me do my job!

Bandung, 2024-10-5

ivy