Menulis atau Mengedit: Tahapan Berbeda Dalam Menjalani Hidup

Sepuluh tahun lalu, ketika pertama kali mulai menulis di blog, saya penulis yang cepat. Saya ingat celetukan salah satu teman perjalanan yang begitu terkejut ketika saya membagikan tautan perjalanan kami sehari setelah hari kepulangan. “Wow… cepat benar!” ucapnya ketika itu.

Saat itu saya tak pernah merasa kemampuan menulis bebas dan cepat itu sebuah kelebihan. Saya, yang sepuluh tahun silam hanya tahu ada cerita yang meluap-luap di kepala dan meronta-ronta untuk disulap jadi kata, melihatnya sebagai kenangan yang dapat dibaca ulang.

Sudah.

Maka saat itu, dorongan terbesar saya adalah menumpahkan segala hal yang saya ingat ke dalam tulisan secepat mungkin. Memastikan tak ada hal kecil yang terlewat dalam cerita. Tuts-tuts laptop saya ketika itu begitu lancar menari-nari tanpa jeda. Hasilnya, tulisan perjalanan seminggu bisa beres dalam satu malam. Tak ada beban keindahan bahasa yang saya lekatkan ketika itu. Semacam muntahan rasa, semuanya dipaparkan, dikeluarkan, lalu lega.

Persis perasaan orang menahan buang angin, lalu bisa buang angin dengan bebas.

Bertahun-tahun kemudian, ketika saya semakin menggilai kegiatan tulis-menulis, saya mulai belajar tentang teknik dan kiat yang ada. Perlahan tapi pasti, tulisan saya yang awalnya seperti diari dan berantakan, menjadi lebih tertata. Saya belajar mengasah bagian mana yang penting ditonjolkan, dan bagian mana yang hanya perlu diceritakan dengan sederhana.

Tapi anehnya, berkebalikan dengan kerapian tulisan, waktu yang saya butuhkan untuk menulis menjadi bertambah. Saya menulis lambat. Saya punya segudang draft tulisan yang telah saya mulai, namun tak pernah bisa saya lanjutkan.

Lalu suatu malam, sebuah post di Instagram menjelaskan keanehan ini. AS Laksana–seorang sastrawan, penulis, sekaligus wartawan yang aktif menulis cerita pendek di berbagai media cetak nasional, memberi sentilan, “Jangan menulis sekaligus mengedit.”

Berapa sering kita menulis lalu menghapus kembali tulisan tersebut dan meninggalkan kertas putih di layar tetap kosong? Menurut Laksana lagi, kita seringkali ingin menghasilkan tulisan yang bagus saat itu juga. Kita lupa bahwa tulisan bagus itu dihasilkan dalam dua tahap: menuangkan pikiran dan tahap selanjutnya: menyunting. Alih-alih melakukannya dalam dua tahap, kita ingin melakukannya bersamaan.

Serta-merta, saya teringat lagi salah satu editor tulisan perjalanan favorit saya, Windy Ariestanty, yang selalu mengingatkan saya bahwa menulis itu adalah proses re-write. Bersedia membenahinya lagi dan lagi.

Mendapati kata-kata tersebut, membuat saya kembali teringat dengan tulisan beratakan yang saya tuliskan saat awal ngeblog. Hasrat meledak-ledak ingin mengkristalkan kenangan. Rasa lega ketika menuntaskan hasrat rasa ke dalam kata. Rasa bahagia ketika menemukan alur cerita yang dirasa paling nyaman. Ya, seperti masakan yang butuh tahapan untuk diolah, tulisanpun punya tahapan yang mesti dijalani satu per satu.

Dan buat saya, seperti itu pula hidup. Yang mesti dijalani seperti menulis cepat: dinikmati dan direguk sepenuhnya, tanpa terlalu sibuk berharap segalanya akan sesempurna apa yang kita bayangkan. Karena hidup juga tahapan yang mesti dijalani dengan sabar satu per satu–hingga rasanya benar-benar nyaman untuk diri kita sendiri. Tapi, hanya karena menunggu rasa nyaman yang dinanti itu, bukan berarti juga hidup harus dihabiskan hanya untuk menunggu.

Seperti menulis, kita bisa hidup menatapi kertas kosong karena ingin apa-apa yang tertuang sempurna sesuai keinginan, atau kita bisa menulis saja hingga kertas terisi penuh dengan tulisan yang bisa kita edit dan perbaiki pelan-pelan–seperti menikmati hidup saja berdasarkan apa yang kita punya (atau tidak punya) saat ini; sambil menatamya dengan senang hati.

IMG_0452.JPG

sebelumnya tulisan ini sudah dipublish di kamantara.id.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *