Menemanimu menangis siang ini, aku sadar rasa perih itu masih sama. Masih seperih dan sesakit 3 tahun lalu, tak kurang sedikitpun.
Untuk itu aku tak ingin berdusta. Ya, luka yang satu ini tak punya obat.
Lambat-lambat air mata jatuh di pipi masing-masing, kita menangisi hal yang sama untuk orang yang berbeda. Kehilangan, ruang kosong dingin yang membuat hati nyilu.
Ayahmu yang kemarin melesat pergi dalam sehari dan ayahku yang setelah 1064 hari kepergiannya tetap meninggalkan luka membuka di hatiku, bergeming.
Maka lagi-lagi aku ucapkan kalimat itu. Kalimat yang kutuliskan untuknya di awal Oktober 2015 silam yang masih nyata dan benar adanya.
“Ya ada hal-hal yang tak dapat disembuhkan waktu dan kehilangan cinta pertama salah satunya.”
Kamu mengangguk sembari menyeka air mata. Lalu diantara segala obrolan, kita bersepakat bahwa ayah, sosok yang kita jatuhi hati pertama kali hanya tak ingin dilihat dalam kondisi terlemah. Itu yang aku dan kamu percayai.
Kalian bisa bilang itu bentuk pembenaran, mungkin. Tapi ini alasan yang mampu membuatku bertahan sampai saat ini.
Perbincangan kita tentang kehilangan lalu bermuara pada kesimpulan, tak peduli dalam senyap ataupun pelan tak pernah ada kata siap untuk kehilangan. Sekalipun dalam sakit yang berlarut-larut. Maka, bukankah ada baiknya ia terjadi dengan cepat seperti sabetan golok tajam?
Aku percaya, kehilangan adalah satu dari ujian hidup yang harus aku dan kamu jalani.
Dalam beberapa hari ke depan akan ada begitu banyak pertanyaan dan cerita berulang yang harus kamu jawab di tengah remuk redam hati. Sabar, itu latihan pertama dalam kehilangan ini. Menyanyikan kisah luka itu berkali-kali hingga kamu kebal.
Peluk kuat-kuat untukmu, hanya pelukan dan telinga yang bisa aku tawarkan. Sing tabah, Ran..
Rumah duka Thiong Ting, Solo 2018-8-14
Ivy
Leave a Reply