Dear you,
Selamat pagi hai kamu yang senang mendekam di istana sana. Sudah bangun? Lihatlah langit J-Town pagi ini sedang biru gemas, manis sekali. Ya, semanis senyummu jika sedang lucu. Sayangnya, itu sama jarangnya dengan langit ibu kota yang biru. Analogi yang saling melengkapi, klop.
Setahun ya dari yogurt pertama yang kita bagi di perjumpaan perdana. Kamu ingat? Entah. Tapi aku ingat tiap detil pertemuan kita, karena selalu ada sedikit sesal yang aku simpan di akhir tiap temu. Seperti kata motivator terkenal yang baru-baru ini datang ke ibu kota, penyesalan itu lebih membunuh ketimbang kegagalan. Maka tepatlah adanya.
Bersua denganmu seperti menemukan lautan luas tanpa kedangkalan. Hanya ada biru pekat ke manapun mata memandang. Sebagai pecinta biru tentu aku menikmati lautan. Tapi lautan yang ini tanpa tepian dan tanpa pemandu, meninggalkanku gagu dan berkalang ragu.
“Ke arah mana aku harus menyelam?”
“Bolehkah aku menyelami birumu?”
“Apa gelombangmu akan berteman atau menelanku?”
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini yang selalu menjadi buah di akhir setiap temu kita yang tak jarang menetas jadi sesal. “Why don’t i just try it?” seringnya begitu aku menghakimi diri sendiri.
Luasnya lautan birumu sering kali membuatku megap-megap, bingung dan kehilangan arah. Tapi seperti kata Sarah Kay, dalam puisi The Type ((https://genius.com/Sarah-kay-the-type-annotated) ” It is hard to stop loving the ocean even after it has left you gasping — “salty.”
Menyoalmu, selalu ada tarikan tak terjelaskan. Selalu ada keinginan untuk bisa menyelam di sela-sela labirin kepalamu. Menelusup dan melonggok ke dalam cerita-cerita yang tak pernah kamu tuturkan. Berdiam diri hanya untuk merasakan keberadaanmu.
Akh, aku selalu takut mengusik sepi yang sepertinya jadi teman terbaikmu selama ini. Aku selalu berusaha mereka-reka seberapa jauh jarak aman itu. Tapi setahun sudah dan hasilnya nihil. Atau, jangan-jangan kamu mencari seseorang yang berani melompati pagar-pagarmu? Begitu? *wink
Tak seperti surat-surat biasanya yang aku tuliskan dengan tulisan tangan dan aku selipkan di sudut-sudut istanamu, surat ini aku tuliskan terbuka. Aku tinggalkan di sini, agar sewaktu-waktu aku punya keberanian bisa kukirimkan padamu. Semoga segera.
Ngomong-ngomong, ketimbang mengkhayal dan mereka-reka, apa kutuliskan saja novel tentang kisah tak biasa ini?
Setidaknya jika di akhir tak menjadi apa-apa, kisah ini telah luruh dalam kata.
Ttd,
Dari yang memilih tinggal. Sejujurnya saat ini belum ada pilihan untuk beranjak
PS: Would you come to visit me next month? This is an invitation to enter my world.
J-Town, 2019-3-23
ivy
*Biru yang masih gagu
Leave a Reply