Di sebuah desa kecil di Kabupaten Pesisir Selatan, sebuah jembatan berumur seratus tahun lebih berdiri kokoh melawan waktu. Bukan jembatan baja atau beton, tapi jembatan dari akar-akar perkasa yang saling menjalin hingga terbentuk ‘titian aka’.
Kabupaten Pesisir Selatan adalah salah satu kabupaten di Sumatera Barat yang terletak di pinggir garis pantai. Siang itu, ditemani gerimis kecil, saya sampai di Kecamatan Bayang, Pesisir Selatan. Setelah berkendara delapan puluh delapan kilometer dari selatan Kota Padang, saya pun dapat meniti jembatan akar ini.
Titian Aka atau jembatan dari jalinan akar dua pohon beringin besar ini saling melilit dan bertaut dari tahun ke tahun. Pada umurnya yang lebih dari seabad, telah banyak tambalan kayu di beberapa sisi jembatan. Kayu-kayu ini berfungsi untuk mempermudah pengunjung ketika berjalan, demi keselamatan.
Konon, jembatan yang menghubungkan nagari (desa) Puluik-Puluik dan nagari Lubuak Silau ini digagas tetua desa bernama Pakih Sokan. Sang Angku Ketek atau pemuka adat ini menanam pohon beringin pada tahun 1980, masing-masing satu di tepian Sungai Bayang. Dua puluh enam tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1916, akar kedua beringin itu sempurna menjalin, dan digunakan sebagai jembatan oleh masyarakat kedua desa.
Gerbang masuk menuju Titian Aka terletak di pinggir jalan, namun tidak terlalu mencolok. Awasi saja sebuah gapura kecil dengan atap bergonjong bercat merah jambu. Setelah membayar retribusi sebesar 5ribu rupiah, saya dapat menuruni tangga menuju Titian Aka. Di sepanjang jalan terdapat beberapa kios makanan yang biasanya hanya buka di hari Sabtu dan Minggu.
Sembari menunggu hujan reda, saya menikmati mie instan di salah satu warung. Bersama tiap suapan mie, ibu penjaga warung mengalunkan legenda lain tentang jembatan yang membentang sepanjang sekitar 25 meter ini.
Dikisahkan, terdapat dua gunung: Gunung Jantan yang terletak di nagari Puluik-puluik dan Gunung Batino di nagari Lubuak Silau. Keduanya terpisah oleh Sungai Batang Bayang. Penamaan gunung dalam bahasa lokal sesederhana penampakannya yang menyerupai alat kelamin pria dan wanita. Konon, jembatan akar ini terbentuk dari kekuatan mistis, demi menghubungkan cinta kedua gunung. Legenda soal Gunung Jantan dan Gunung Betina ini diperkuat dengan mitos “enteng jodoh” untuk muda-mudi yang mandi di bawah jembatan akar—yang saling menjalin 6 meter di atas Sungai Batang Bayang.
Setelah hujan mereda, saya menyeberangi Titian Aka. Tak habis-habis kekaguman saya melihat ukuran akar-akar pohon ini, sebesar paha orang dewasa, bahkan lebih!
Saya memutuskan untuk mengambil jalan memutar ketika kembali. Berjalan santai sembari menikmati udara segar sehabis hujan ditemani gemericik Batang Bayang yang menenangkan.
Sebuah jembatan besi dibangun paralel beberapa ratus meter di depan Titian Aka. Salah satu alasannya, agar kendaraan bermotor bisa tetap melintasi Sungai Batang Bayang, tanpa merusak jembatan akar. Jembatan besi ini dapat membagi beban yang harus ditanggung Titian Aka yang semakin berumur.
Jembatan ini, saya pikir, adalah bukti sejarah betapa manusia mampu berdamai dan memanfaatkan alam. Kalau boleh mengambil satu pepatah Minang, “Alam takambang jadi guru”—mungkin inilah yang selalu digaungkan jembatan ini selama lebih dari satu abad.
Akar-akar besar itu kini tak lagi sekuat dulu. Telah banyak sisipan kayu di sana-sini. Kawat-kawat besi penyangga dipasang untuk membuatnya tetap kokoh dan aman untuk diseberangi. Namun, saya harap jembatan ini bisa tetap menjadi pengingat bagi generasi penerus untuk hidup selaras dengan alam. Betapa kolaborasi yang baik antara alam dan manusia dapat bertahan sebegitu rupa!
Untuk menyeberangi Titian Aka, sebaiknya datang pagi-pagi sekali. Nagari Bayang sering dilanda hujan ketika siang dan sore hari. Desa Bayang bisa dicapai dari Padang ataupun dari Painan, dan tempat parkir tersedia di kawasan ini. Jika ingin mandi-mandi, perhatikan arus air yang bisa dengan cepat menderas. Terakhir, jangan tinggalkan apapun, kecuali jejak.
Selamat berpetualang!
*tulisan ini sebelumnya dipublish di wewerehere.
Leave a Reply