“Apakah ketika hidupmu sederhana, kebahagiaanmu ikut merupa jadi sederhana?” tanya saya pada teman di tengah perjalanan kereta menuju Malang.

Sembari menatap jendela kereta, melihat para petani yang bekerja di sawah di tengah terik surya, tiba-tiba pertanyaan itu terlintas begitu saja di kepala. Teman saya tersenyum dan menjawab dengan ringan. “Ya, mungkin…”
Saya lalu melanjutkan dengan memberi contoh, “Para petani ini pasti melihat segelas es teh manis sebagai sebuah kemewahan, kan?” Sedang bagi saya, es teh itu biasa. Hal yang mewah itu es krim Haagen-Dazs di terik matahari.
Lalu kami tertawa bersama. “Ya, mungkin…” kembali teman saya mengulang ucapannya. Lalu menambahkan, “Ya, mungkin memang begitu hidup.”
Pertanyaan saya tak selesai di sana. “Jadi apa jika kita harus belajar kembali untuk hidup lebih sederhana?” tanya saya lagi.
Jawaban teman saya kemudian membuat saya berpikir panjang, “Hidup sederhananya bisa. Tapi kita terlanjur mengenal ego-ego yang lebih besar. Dan nampaknya ego ini tak akan surut lagi.”
Dia balik bertanya, “Seandainya kamu tinggal di desa lalu kepingin banget es krim Haagen Dazs gimana?”
Sekarang gantian saya yang tertawa. Tawa kali ini lebih ditujukan pada diri sendiri dibanding sekedar guyonan.
Lalu dia melanjutkan, “Yang sulit itu memantapkan keinginan.” Sembari manggut-manggut, saya berkata, “Iya, memangkas keinginan-keinginan lain dan membuatnya menjadi sederhana, menerima.”
Di antara semuanya, legowo memang hal yang paling butuh perhatian ekstra.
<!–




–>
Leave a Reply