Seorang perempuan yang ingin mengakhiri hidupnya dianggap gila dan di tempatkan di rumah sakit jiwa. Perempuan yang gila ini kemudian menemukan bahwa hidup di rumah sakit jiwa jauh lebih nyaman dan waras dibandingkan di dunia luar.
Di hari terakhir Vipassana, saya merasakan betapa nyatanya sosok Veronica dalam novel Veronica want’s to die yang dihadirkan oleh Paulo Coelho. Bukan menyoal mengakhiri hidup tapi keengganan untuk keluar dari keheningan utuh yang diciptakan tempat ini. Ruang yang oleh penggagasnya dinamai sebagai rumah sakit pikiran.
Kita sering berbicara tentang pentingnya untuk merawat tubuh tapi kita lupa bahwa pikiranpun butuh untuk dirawat. Vipassana adalah salah satu metoda yang bisa dijadikan pilihan. Dalam bahasa Pali (India kuno), metoda ini didefinisikan sebagai “melihat segala sesuatu sebagaimana adanya.“

Dalam kurus 10 hari ini para peserta dikarantina dari dunia luar. Semua celah dengan dunia luar ditutup rapat-rapat. Menyisahkan kamu dan dirimu dengan manusia-manusia lain yang berlalu lalang tanpa boleh berkontak mata, suara apalagi sentuhan. Keheningan ini serta merta, memunculkan ruang-ruang tenang untuk berkaca. Mengurungmu berdua di rumah hanya dengan dirimu.
Sebagai salah satu manusia introvert, berada diantara manusia lain kadang mampu menguras tenaga. Tidak melakukan kontak selama sepuluh hari, terdengar seperti jeda yang menyenangkan buat saya. Sepuluh dari 365 hari, waktu yang sempurna menikmati keheningan dunia. Bak pesta, ini lebaran bagi para introvert.
Meski begitu, ada satu hal yang membuat saya menimbang cukup lama sebelum memutuskan ikut. Selain tidak boleh menggunakan handphone, tidak boleh berbicara, peserta juga tidak diperbolehkan untuk membaca dan menulis. “Bagaimana bisa saya hidup 10 hari tanpa menulis?” tanya dan ragu saya berkali-kali pada diri.
Setelah melewati sepuluh hari yang luar biasa, saya menemukan jawaban paling murni tentang diri. Bukan tak bisa menulis yang saya takutkan, tapi tak bisa memuntahkan segala pemikiran dan perasaan yang menyesaki kepala dan hati ke dalam lembar-lembar tulisan. Saya takut untuk menghadapi diri saya sendiri. Saya takut menghadapi betapa bernanahnya borok-borok pemikiran di kepala. Saya memuntahkannya sebelum benar-benar saya telan.

“I thought the hardest part is cannot write, but the truth is sitting with yourself in a full awereness is far more crazier..” curhat saya kepada beberapa teman yang menanyakan tentang pengalaman Vipassana.
Berbicara dengan orang lain, membaca buku ataupun menulis adalah pintu-pintu dan jendela untuk keluar dari diri. Saat semua pintu ini ditutup, maka yang tersisa hanya dirimu, kamu. Maka benarlah adanya ucapan guru yoga saya yang berkata, “meditasi itu ya seperti melihat mukamu yang asli.”
Tanpa segala gangguan dan kemungkinan untuk lari, peserta Vipassana dibuat mendengarkan suara-suara yang selalu menyesaki kepala. Duduk tenang bersama diri dan berkaca. Melihat diri sebagai mana adanya, melihat ‘rupa’ sendiri, melihat ‘luka’ sendiri, melihat ‘duka’ sendiri.
“Jika ada orang yang bisa membuatmu paling menderita, kamulah orangnya. Pikiranmu lah sumbernya.” Ini petuah yang disampaikan ketika peserta Vipassana diterima di rumah sakit pikiran ini.
“Inilah pentingnya bagi setiap insan untuk mampu menjaga pikirannya. Semadi/ meditasi, proses untuk menjadi tuan atas pikiran-pikiranmu.” jelasnya lagi.
Cerita tentang betapa luar biasanya kekuatan pikiran tentu pernah kita dengar. Baik yang akhirnya dapat menyembuhkan atau yang malah membuat tubuhmu yang sehat menderita sakit psikosomatis. Pelajaran paling berharga di sini, peserta Vipassana diajak untuk merasakan sendiri pengalaman ini di dalam kerangka tubuhnya. Alih-alih mencekokimu dengan segala cerita dan teori, peserta diajak ikut serta lebur dalam pengalaman. Membuat kebijaksanaan dan pengertiaan itu bukan lagi sesuatu yang dipahami tapi sesuatu yang dialami sendiri, personal.
Operasi pikiran, begitu mereka menamai kursus ini. Selama 10 hari peserta diajak untuk sama-sama masuk dan menelusup ke pikiran dan tubuh masing-masing. Menajamkan pisau-pisaumu untuk menebas segala macam sarang pemikiran yang menjadi akar penderitan, sangkara.
Dalam proses melelahkan yang penuh emosi dan air mata ini, peserta dibekali sebuah lampu terang. Anicca, impermanent. Tak ada satupun yang abadi. Hal yang menyenangkan ataupun yang menyengsarakan, semua akan berubah. Rasa sakit, sedih, kecewa, amarah, dendam ataupun bahagia, tak ada yang abadi. Semua akan timbul tenggelam, berakhir dan meluruh dengan waktu luruhnya masing-masing. Tak ada yang lepas dari hukum ini, tak ada yang kekal. Proses ini kemudian saya namakan olah raga pikiran untuk membentuk “acceptance muscle”.

Kemelekatan bukanlah ajaran baru, sebagian besar kitab suci selalu mengingatkan akan hal ini. Namun di sini, kebijakan ini menjelma jadi pengalaman nyata, dan menjadikannya penemuan yang intim. Kesadaran yang utuh.
Kelak, saat akhirnya kamu mampu duduk tenang selama 1 jam tanpa bergerak, kebijakan itu menjadi catatan mental yang tak mungkin hilang dari ingatan. Kamu sadar, melawan kondisi tubuh saat itu hanya menciptakan tegangan baru yang berujung rasa sakit dan penderitaan. Tubuh tak akan pernah lupa sensasi rasa ringan ketika kamu berdamai dan menerima.
Proses ini sendiri bukan perlombaan, tapi perjalanan panjang yang butuh diusahakan oleh masing-masing. Tak seorangpun mampu membantu, hanya tekad dan niat kuat yang akan menjadi temanmu. Tekad yang butuh terus diingat dan dipertahankan. Kemampuan untuk mengamati tanpa berekasi berlebihan terhadap segala hal yang terjadi padamu, segala hal yang ditawarkan dunia.
Tak ada pengalaman yang sama dari masing-masing insan, tapi tiap orang akan punya penemuan dan kebenarannya masing-masing. Satu yang menjadikannya sama, saat dudukmu bergeming, dapat dipastikan pikiranmu sudah tenang.
Di akhir, buat saya meditasi adalah tentang berserah. Tentang duduk bersama diri dan kini. Memandang rupa sendiri, menerimanya dan berdamai. Menerima mampu dan kurang diri apapun adanya di masa dan saat itu.

Penting diingat, layaknya rumah yang butuh disapu berkala agar tetap bersih, pikiran juga butuh ditenangkan berkala agar tetap ringan. Debu dan kotoran bisa datang dari mana saja, yang kita undang secara sengaja atapun yang tidak.
“Tapi mengapa? Mengapa saya? Mengapa sekarang?” dan masih banyak mengapa-mengapa lain yang sering kita tanyakan jika suatu badai pasir menerjang hidup kita. Jawaban sederhanannya Anicca, karena yang abadi adalah perubahan. Perubahan itu bisa terjadi kapan saja, di mana saja oleh dan karena siapa saja. Berhenti bertanya dan mulailah menyapu debu-debu tersebut keluar dari rumahmu.
Selama hidup, akan selalu ada tamu yang datang berkunjung ke rumah kita, diundang ataupun tidak. Tiap tamu datang membawa oleh-oleh yang bisa jadi kita sukai ataupun tidak. Sebagai tuan rumah adalah hak kita untuk menerima atau menolaknya.
Respon kitalah yang menjadi bagian terpenting. Apa kita akan membiarkannya masuk? Apa kita akan menerima oleh-oleh beracunnya?
Jadilah sadar dan ambil tanggung jawab ini.
Where is home?
Here
Inside
PS: Teruntuk rumah sakit pikiran dhamma.org, saya pastikan jadi pasien tahunanmu. Terima kasih untuk semuanya.
Bandung, 2019-07-20
ivy
Leave a Reply