Untuk (tidak) Dikenang

img_2990
North Vietnam, 2018

“Bagaimana kamu ingin dikenang?” tanya saya suatu siang di sebuah restoran. Pertanyaan yang segera dijawab dengan jawaban yang tak pernah saya duga. Pertanyaan yang dengan serta merta membuat saya menyesal telah melontarkannya.

“Kenapa kita, saya atau kamu harus dikenang?” jawabnya dengan tegas sembari memandang tajam pada saya. “Itu pertanyaan yang lebih besar. Why?” tambahnya masih dengan konsistensi suara lugas yang segera membuat saya merasa tersudut. Oh bukan suara tapi kata-kata tajam itu yang membuat saya serasa ditelanjangi.

Saya diam lalu mengap-mengap mencari kata, tapi nihil.

“Itu narsis dengan level yang berbeda aja…” kelakarnya meski sungguh tak terdengar lucu. Dia melanjutkan, “Bumi ini umurnya sudah berjuta-juta tahun, sudah berapa banyak manusia yang hilang tak berbekas dari muka bumi. Ya begitulah hidup..”

“ash to ash?” tanya saya.

“iya, hidup lalu mati dan hilang..” jawabnya singkat kali ini.

Ada gumpalan kata yang masih begitu kusut di kepala untuk informasi baru yang begitu menampar ini. “Tapi.. bukannya banyak hal yang dilakukan di dunia ini untuk membuat kita tidak hilang begitu saja. Menjadi roh yang masih ada meski raga tak lagi ada?” jawab saya. “Seperti Pram, seniman atau para musisi yang membuat lagu.

“Itu kayak mau menyumbang untuk dunia tapi ingin namamu dipajang besar-besar di sana. Dibuatkan plakat atau bahkan prasasti..” jawabnya sinis. Seperti truk dengan kecepatan tinggi, kata-kata itu datang tiba-tiba dari belakang dan menabrakmu, telak.

Saya diam. Saya sadar ada satu sudut yang lepas dari penilaian saya selama ini.

Soto datang di saat yang tepat, setidaknya membuat saya tidak terlindas hingga tewas di tempat. Perbincangan mencair pada topik-topik yang lebih ringan. Tentang soto Kudus yang kami makan dan kuliner khas daerah Kudus. Tapi percayalah hingga tulisan ini dituliskan, fakta alot yang dijejeli ke kepala saya siang itu masih berputar-putar.

Setelah mengendapkannya untuk beberapa saat, saya menyadari beberapa hal. Tidak ada yang salah untuk menjadi narsis dan ingin dikenang. Sama sekali tidak. Bukankah sebagian tradisi dirancang dengan sadar untuk hal ini?

Bukankah bungkusan kenarsisan dan embel-embel keabadian itu juga berisi petuah dan ilmu-ilmu warisan? Seperti coretan manusia purba di dinding-dinding goa. Berbagi, menegaskan bahwa saya pernah ada di sini. Meninggalkan kenang-kenangan pengetahuan, agar kita tak mengulang semuanya dari awal? Sebut saja listrik, telepon dan segala penemuan lainnya.

Sebut saya berkilah, atau mungkin tak seberuntung sebagian manusia (sepertimu) yang punya kemampuan lebih dalam menemukan pencerahan tentang hidup. Di tahapan tertinggi ini tentu saja yang mereka cari adalah pencapaian diri, sedang keabadian dari karya akhirnya hanya menjadi bonus.

Buat kebanyakan manusia lainnya, termasuk saya embel-embel dikenang ini merupa secercah cahaya awal yang baik untuk menilik ke dalam diri. Punya tujuan menghasilkan karya tulis, karya musik, karya seni, riset, penemuan atau apapun yang bisa dikenal dan melewati waktu rasanya bukan tujuan yang buruk toh?

Terima kasih untuk tamparan yang menyadarkan bahwa saya hanya satu dari sekian miliar manusia yang butuh alasan sederhana untuk memulai sesuatu yang lebih besar dari diri. Menjadi abadi.

Harapannya, kelak di tengah proses akan tersadari bahwa karya terbaik hanya muncul ketika dikerjakan dari hati dan untuk diri. Bukan untuk plakat, bukan untuk jabatan, bukan untuk puja puji dunia, bukan untuk orang lain. Bukan untuk keabadian tapi untuk kesementaraan yang sesaat dan diimani.

Ingin dikenang ataupun tidak ingin dikenang bisa dilihat sebagai titik nol. Itu bukan akhir, itu bukan tujuan. Pertanyaan terbesar, apa yang ingin kamu lakukan dengan waktumu yang terbatas ini?

 

Doa saya sederhana: semoga tak ada sesal di akhir nafas.

 

 

Dago 485, 2018-7-8

ivy

 

NOTE :

Terima kasih untuk manusia super sinis yang sudah menampar dengan tamparan kuat yang mengejutkan. Rasa soto Kudus siang itu berisi semangkuk kuah malu, potongan kebingungan dan ceceran harga diri yang terburai. Pahit tapi tak terlupa.

Tenang, makan siang itu tak akan membuat saya kapok denganmu. Bukannya manusia selalu butuh disadarkan? Atau bilang saja butuh disakiti sesekali? Kadang dengan pelukan, kadang dengan tamparan. Semoga kamu yang tidak kapok dengan semua pertanyaan saya yang mudah-mudahan tak pernah berhenti.

 

 

 


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *