Tanggal pasti kejadian tak dapat lagi saya ingat. Tetapi bantuan tulus dari seseorang yang sama sekali asing itu masih saja terasa hangat. Tak mungkin saya lupa. Semua sudah terpatri di dalam dada.

Sepuluh tahun lalu, seperti halnya mahasiswa-mahasiswa tahun pertama yang berasal dari luar kota, saya dan kawan-kawan menikmati kebebasan ‘jauh dari rumah’ sebagai sebuah kemewahan tersendiri. Seraya menyesuaikan diri dengan kehidupan kampus dan berusaha untuk mengakrabi betah, kami pun tak bosan melontarkan berbagai ide secara impulsif. Semuanya kemudian dieksekusi dengan antusiasme berlebih, tanpa banyak pertimbangan.
Seperti malam itu. Malam Minggu. Ini artinya waktu untuk makan enak bagi anak-anak kost, setidaknya sekali dalam seminggu. Tercetuslah ide untuk mengunjungi sebuah kafe tempat kami akhirnya mengisi perut. Di sana kami bertemu beberapa orang teman, tertawa lepas dan menikmati hidup hingga larut.
Entah dari siapa, tercetus lagi ide spontan untuk pindah tongkrongan ke salah satu warung pinggiran yang saat itu sedang tenar: Madtari. Waktu itu, kami berdelapan. Semuanya hijrah untuk kembali mengisi perut dengan kudapan, mendengarkan pengamen jalanan mengalunkan lagu Manusia Bodoh. Kami masih tertawa dan bergurau, hingga tanggal sudah berganti.
Pagi masih begitu muda, belum lagi akan pecah. Kegilaan dan derai tawa kami seakan tak puas jika harus berhenti di jam-jam kecil ini. Seorang teman memberikan ide lain: “Kita lihat city lights di Dago Pakar, yuk! Bagus, deh!”
Saran yang terdengar wajar ini, tak kami sadari, kemudian akan membawa naas.
Pukul 1 dini hari. Dengan dua mobil, kami beriringan menuju Bukit Dago Pakar. Untuk sebagian dari kami, ini adalah yang pertama kali. Tak terbersit rasa takut, enggan, atau ragu–apa yang bisa berjalan salah hanya dengan memandangi gemerlap lampu kota di kejauhan dari atas bukit; bersama kawan-kawan terdekat?
Menjelang subuh, kami sampai di Bukit Dago Pakar. Perdebatan merebak untuk menentukan posisi yang paling baik untuk menikmati lampu kota. Mobil yang satu sudah terparkir beberapa meter di bawah.
“Woi! Turun, deh!” suara-suara dari mobil di bawah memanggil kami untuk segera menyusul. Tiga perempuan dan dua lelaki, kami berjalan sembari terus bercanda dengan 3 kawan lelaki lain yang sudah lebih dulu menikmati pemandangan. Bebas. Rasanya bebas.
Kejadiannya sungguh cepat. Saya tak dapat mengingat bagaimana atau dari mana, atau kapan tepatnya mereka datang. Sepertinya tiba-tiba saja kami sudah dikelilingi serombongan preman. Belum sempat saya berpikir, teman saya–Barry, yang tengah bersandar di mobil bawah, dipukul jatuh. Lalu mereka mulai berlari ke arah kami.
Saya membatu.
Jantung saya terpompa sedemikian cepat. Pikiran saya kacau. Saya bahkan tak mengerti apa yang sedang terjadi. Tetapi bukankah reaksi pertama ketika orang-orang berlari mengejarmu adalah… lari?
Dan itulah yang saya lakukan. Saya berlari untuk mencapai mobil kawan saya, Cherry–dan hal terakhir yang saya ingat, saat saya hampir menggapainya dan nyaris membuka pintu mobil, seorang preman mematahkan kaca spion mobil dengan pentungan, lalu ia menggedor-gedor kaca depan.
Selanjutnya, mobil Cherry melaju kencang. Saya dan kawan saya, Fanie dan Jun, tertinggal. Para preman mengejar kami dengan motor-motor mereka, mengacung-acungkan pentungan dengan ganas. Saya tercengang dan gemetar. Saya masih tidak bisa mencerna apa-apa, tapi saya hanya tahu bahwa saya perlu menyelamatkan diri. Tetapi saya hanya bisa memeluk Fanie dalam kebingungan. Jun berteriak-teriak minta tolong seraya lari tunggang-langgang menghindari kejaran motor-motor itu.
Detik selanjutnya, segerombolan lelaki bermotor datang mengerubungi kami, menawarkan ojek. Kami kebingungan dan linglung di tengah ketakutan. Kami baru sadar bahwa dompet kami tertinggal di dalam mobil yang sudah menghilang entah ke mana. Jantung kami berpacu luar biasa cepat. Segala pikiran negatif berkelebat. Bagaimana jika ‘tukang-tukang ojek’ ini punya niat jahat? Kami menolak tawaran mereka sehalus yang kami bisa, sejujurnya mengatakan bahwa kami tak punya uang sepeserpun untuk membayar jasa mereka.
Saat itu kami sudah pasrah. Kami sudah tak bisa lari kemana-mana.
Begitu mendengar pengakuan kami, rombongan ini membubarkan diri. Meninggalkan saya dan Fanie yang masih kebingungan, namun bersyukur luar-biasa. Kami melihat ke sekeliling dan Jun tak terlihat. Satu dari banyak hal yang masih bisa disyukuri saat itu adalah ketika Fanie menyadari bahwa ia masih mengantongi telepon genggamnya.
“Fan! Kamu turun saja ke bawah! Nanti aku jemput pakai motor. Maaf banget ya, tadi aku ninggalin!” ujar Cherry ketika kami berhasil menghubunginya.
Fanie dan saya pun berjalan turun. Ke bawah. Entah di mana pastinya. Saat itu, Fanie menggunakan high heels. Kami pun harus turun perlahan dan berhati-hati. Tak lama berselang, sebuah motor kembali mendekati kami untuk menawarkan tumpangan. Lagi, kami menolaknya sehalus yang kami bisa.
Tapi ada yang berbeda dengan pengendara motor yang satu ini. Dia tidak memaksa. Dia hanya menawarkan untuk membonceng kami berdua di atas motornya.
“Tapi kalau nanti kita dibawa ke mana gitu, bagaimana Fan?” bisik saya panik.
Pemuda itu tak juga pergi, ia memandangi kami, lalu berkata: “Baiklah, kalian dua perempuan, dan ini hampir subuh. Tentu kalian tak akan mudah percaya pada orang yang tidak dikenal. Begini saja, kalian bisa terus berjalan. Saya hanya akan iringi kalian dengan motor, boleh?”
Kami trenyuh mendengarnya, dan tak tahu harus berkata apa. Akhirnya, kami mengiyakan saja.
Sepanjang perjalanan, pemuda ini bercerita bahwa kejadian seperti tadi sering terjadi. Begitulah cara pemuda-pemuda di sini mencari ‘cekeran’. Mereka sengaja membuat kegaduhan sehingga ada beberapa pengunjung yang tertinggal, lalu pasti mau menggunakan jasa ojek mereka untuk kembali pulang.
“Biasanya uangnya dipakai beli minuman, Teh...” ujarnya.
Kami pun terkejut mendengar ceritanya. Tak menyangka bahwa yang baru saja kami alami adalah kejadian yang sudah terencana dan sudah terjadi berkali-kali. Kami tak tahu bahwa hanya karena ingin melihat lampu kota dari ketinggian, kami harus mengalami hal seperti ini!
Pemuda yang tidak kami ketahui namanya ini mengiringi kami berjalan hingga depan Hotel Jayakarta. Ia juga tetap menemani kami menunggu hingga kawan kami, Cherry dan Barry, datang menjemput kami dengan motor.
“Bahaya kalau nunggu sendiri, tak apa biar saya temani,” katanya.
Tak sepeser uang pun bisa kami berikan kepada pemuda itu. Hanya ucapan terima kasih yang tak putus keluar dari mulut. Sungguh niat baiknya menghangatkan kami berdua malam itu. Tragedi naas yang baru saja terjadi seperti tersapu pelan-pelan. Kami seperti diingatkan, bahwa dunia memang tak selalu ramah. Namun, masih ada manusia-manusia baik yang akan membuatmu bersyukur, bahkan di tengah tragedi yang paling mencekam sekalipun. Dan merekalah yang membuat dunia jadi tempat yang lebih indah.
tulisan ini sudah di publish sebelumnya di kamantara.id
Leave a Reply