Pernah bercermin dan terpikir seberapa bangga dirimu dengan bayangan yang ada di dalamnya? Seberapa jauh kamu sudah bertumbuh? Seberapa mekar tunasmu daridalam?
Ini bukan menyoal tentang pipi yang menjadi lebih tirus, rambut yang sekarang bergelombang, alis yang sudah disulam, tubuh yang lebih seksi, bukan bukan. Ini menyoal tunas kecil jauh di dalam diri. Tunas yang bertumbuh dan berkembang. Manusia itu bisa dan mampu berubah jika terpaksa. Contoh nyatanya saya.
Kalau menilik dulu, saya ini anak manja, pemalu dan luar biasa penakut. Saya takut keluar sendiri, saya takut salah, saya takut memalukan, saya takut berjalan sendiri, saya takut dengan orang baru, saya takut memulai pembicaraan, saya takut ini saya takut itu pada dasarnya saya takut ditinggalkan, saya takut sendiri, saya takut dengan penolakan, saya malu dengan diri sendiri.
Di kamus saya, kata percaya diri pudar dan samar. Saya mengurung dan mengantungkan diri dengan semua yang sudah saya hafal betul, pada sahabat. Saya menjadi naif
Saat akhirnya saya berani berkuliah ke Bandung, itu pun tak lepas dari andil sahabat saya yang juga memilih Bandung dan UNPAR sebagai kampusnya. “Apapun yang ditawarkan kota baru ini nanti, saya punya seorang sahabat,” begitu batin saya.
Sedikit yang saya tahu waktu itu, perbedaan jurusan bisa membuat jarak yang lebih besar meskipun tinggal di satu kosan yang sama. Semester satu terlewati dengan biasa saja, namun kegilaan tugas masing-masing di semester dua membuat saya dan sahabat berjarak.
Seringkali begitu sulit menemukan waktu yang cocok untuk berlama-lama berbagi cerita. Hingga suatu waktu sahabat saya memutuskan untuk pindah kosan dengan beberapa teman barunya dari jurusan yang sama. Alasannya, kosan lama saya memiliki jam malam yang cukup merepotkan dengan segala tugas mereka yang tak pernah kelar dengan cepat.
Saya terpukul.
Ajakan pindahnya tak lagi saya tanggapi sebagai sebuah ketulusan, tapi pengkhianatan. Harga diri saya terluka dan saya merasa ditinggalkan.Di tengah kekecewaan, saya memilih bertahan di kos lama. Saya bertekad untuk memperlihatkan betapa hidup saya akan baik-baik saja tanpanya. Ya, saya drama queen kala itu.
Seminggu pertama hidup tanpa sahabat, saya menangis dan menangis di pojok kamar. Tersedu-sedu dan meratapi nasib seakan dunia terhenti berputar. Penuh sentimen pribadi dan meletakkan diri sebagai korban. Saya tidak ingat persis hal apa yang membuat saya belajar merangkak dari kesedihan ini, tapi rasa-rasanya manusia makhluk sosial yang tak mungkin bisa hidup sendiri cukup menjelaskan alasan itu. Saya belajar membuka mata dan melipat ketakutan saya. Kosan merupan tempat latihan pertama yang paling tepat bukan?
Dari proses ini kemudian saya belajar mengerti dan memahami bahwa jika ada yang salah dalam hal ini, sayalah orangnya. Saya naif, saya kekanak-kanakan dan saya yang menutup diri dari dunia luar. Saya sang katak yang masuk ke dalam tempurung.
Hingga saat ini saya dan sahabat saya sudah berteman sekitar 15 tahun. Saya belajar bahwa sahabat sejati tak selalu harus ada di sisi kita, tapi yakin dan percaya dia akan selalu ada di saat-saat tersulit. Seperti bintang yang tak selalu terlihat tapi ada di langit sepanjang hari.
Hal yang tadinya saya labeli musibah berubah menjadi berkah. Saya berkembang, saya belajar menghadapi segala rasa takut saya dan punya percaya diri yang cukup untuk menghadapi dunia luar. Saya belajar berani memperjuangkan semua mimpi yang saya mau, tunas kecil di lubuk hati saya mekar.
Dunia tidak selalu indah, namun tak berarti kita harus selalu hidup dalam kecemasan. Biarkan semua mengalir sesuai porsinya. Nikmati dan resapi. Seperti kata para filsuf, “Maybe brakes break for a reason… ”
Alasannya seringkali tidak kita temukan di awal, tapi nanti. Semoga dengan segala tamparan dan hempasan yang ada, kita mau belajar beradaptasi dan memekarkan tunas-tunas baru dalam diri kita. Menerima diri secara utuh dan menjadi manusia yang lebih baik. Sosok yang bangga dengan bayangan diri kita pada cermin yang kita hadapi.
*tulisan ini diterbitkan juga di Kamatara.id
Leave a Reply