Sebagai sebuah novel, buku ini cukup ringan untuk dibaca dalam sekali duduk. Dalam waktu 2-3 jam buku ini sudah selesai saya lahap. Ceritanya begitu lekat dengan petatah petitih Bali.

Tarian bumi, bertaburan tentang ucapan dan panggilan dalam bahasa Bali halus, sekaligus dibalut dengan cerita getir tentang strata sosial di Bali. Hal ini digambarkan dengan jalan hidup 3 generasi yang begitu dramatis. Seperti sebuah siklus melingkar, sentimen itu utuh.

Menilik penulis Oka Rusmini adalah seorang perempuan Bali, cerita fiksi ringan ini saya anggap sebagai bentuk dari perlawanannya. Bentuk pemberontakan yang dituliskan begitu mengalir sehingga bisa dipahami dan dinikmati lebih banyak lagi orang.

Di dalam cerita ini, sosok perempuan adalah sosok terkuat yang ingin ditonjolkan oleh Oka. Tentang betapa mengekang dan memberatkannya budaya patriaki di tanah kelahirannya.

Alur dari buku ini bergerak dari depan untuk ditarik mundur ke belakang dan pelan-pelan dirunut dan dipaparkan ke depan. Saya rasa ini juga keinginan tersirat dan ajakan dari penulis untuk semua generasi muda menilik lagi apa-apa yang telah terjadi di masa lalu. Berkaca dan belajar banyak tentang sejarah untuk kembali menghidupi masa sekarang.

Di akhir, ada beberapa pertanyaan tak terjawab dan  rasa pahit yang ditinggalkan Oka untuk kita kunyah dan telaah bersama.

Sebuah nasihat dari Tarian Bumi untuk para perempuan :

“Kelak, kalau kau sudah mengenal laki-laki, kau harus tanya pada dirimu sendiri. Apa dia pantas kau cinta. Apa perasaanmu sungguh-sungguh padanya. Harus bisa kau bedakan rasa kagum dan mencintai dengan baik. Kalau itu tidak bisa kau bedakan, jangan coba-coba memilih laki-laki untuk tempat bergantung.”

Lalu satu petatah hidup yang paling saya sukai.

“Kebahagian itu tidak memiliki pakem. Tidak ada kriteria idealnya. Setiap orang memiliki warnanya yang berbeda, yang dia dapatkan dari pengalaman hidup.”

 

Dago 485, 2018-12-6

ivy