Melek Ekonomi Dulu, Agar Tak Termehek-mehek Kemudian

Foto dipinjam dari om google

“Bunganya berapa?”

Pertanyaan ini tentunya merupakan pertanyaan paling umum ketika membicarakan produk investasi. Lalu, ini akan dilanjutkan dengan berbagai pertanyaan yang berujung dengan kata “berapa”:

“Bisa cuan berapa?”

“Sebulan dapat berapa?”

“Modal awalnya berapa?”

“Ditahan berapa lama?”

Bagi banyak orang, saat memikirkan soal investasi, seringnya kita hanya bertanya soal “berapa”. Membayangkan untung dan uang yang berlipat ganda, kita kerap luput bertanya, “bagaimana” keuntungan itu bisa terjadi.

Sampai suatu waktu, bak serangan negara api yang tiba-tiba, semua hasil jerih payah dan usaha kita yang diinvestasikan mendadak ludes tak berbekas. Barulah saat itu kita bertanya-tanya, “Sebenarnya produk investasi apa sih yang sudah saya beli?”, “Apa beda REPO dan deposito?”, “Koq bisa bunganya jauh di atas rata-rata?”, “Gimana cara kerjanya?”, dan berbagai pertanyaan lainnya yang seketika jadi penting untuk diketahui jawabannya.

Tapi, seperti kata peribahasa: pengalaman memang guru yang paling berharga. Untuk itu, saya ingin membagikan pengalaman pahit ini kepada teman-teman. Harapannya, kecerobohan semacam ini tak terulang di keluarga lain.

Begini ceritanya:

“Bunganya 11% per tahun, fixed,” begitu penjelasan Mami beberapa tahun silam. “Si A udah naro di sana dua tahun. Si B, C, D juga udah di sana satu tahun. Si E juga mau ikutan. Katanya aman sih. Lalu banyak hadiahnya,” lanjut Mami bercerita. “Kita mau coba gak?” akhirnya Mami bertanya.

Saat itu, tahun 2017, saya hanya membalas dengan pertanyaan “Modal awalnya berapa?” dan “Ditahan berapa lama?”

Lalu saya cari tahu sedikit jejak digital OSO Sekuritas di dunia maya. Dari hasil pencarian saya, perusahaan ini cukup bonafide dan dimiliki oleh salah satu petinggi partai yang cukup ternama. Yang tidak saya cermati betul, produk yang waktu itu saya beli adalah produk repo. Sehingga, bonafide tidaknya sekuritas yang menjualnya, itu bukan jaminan apa-apa atas uang yang akan kami investasikan.

Bulan-bulan selanjutnya, dengan bunga yang selalu masuk rekening tepat waktu, kecemasan dan keragu-raguan saya perlahan terkikis. Saya tak lagi merasa perlu mencari tahu, apa bedanya repo dan deposito. Tahun demi tahun berlalu, dan perpanjangan otomatispun terus dilakukan. Hingga Desember 2019 kemarin, saat OSO Sekuritas menyampaikan bahwa mereka gagal membayar bunga dan tak mampu mengembalikan semua investasi yang jatuh tempo. Saya panik.

Jadi, sebenarnya repo ini makhluk apa? Apa bedanya dengan deposito? Terakhir saya baru paham, bahwa repo adalah surat utang yang dijamin dengan saham. Repo dijual oleh sekuritas, yang dalam kasus saya, adalah OSO. Hal yang luput saya teliti, saham-saham yang digunakan untuk menjamin uang saya adalah saham-saham yang disebut “saham gorengan”. Ini adalah saham yang dimainkan oleh broker besar, dan kemudian ditinggalkan setelah mereka mengambil untungnya. Selanjutnya, saham-saham tersebut tak lagi ada harganya. Ibaratnya, saya meminjamkan uang dengan jaminan ‘kertas kosong’.

Saya termenung. Seperti ini toh akibatnya iliterasi ekonomi.

Berminggu-minggu, bahkan hingga saat inipun, saya masih menuntut kejelasan modal investasi keluarga saya. Air mata tak lagi berguna saat ini. Satu yang saya tahu, hal ini seharusnya bisa dicegah, seandainya saya lebih melek ekonomi. Saya, sebagai generasi yang lebih muda, harusnya bisa jadi senter untuk menerangi kabut-kabut janji dari sebuah investasi.

Lebih meleklah untuk mencari sebanyak-banyaknya informasi, ketimbang percaya begitu saja, hanya karena teman dan kerabat sudah mencoba dan meraup hasilnya. Lebih meleklah untuk mempelajari segala produk yang ditawarkan dan bersiap dengan segala konsekuensinya. Janganlah puas hanya dengan penjelasan gamblang dan iming-iming bunga atau hasil investasi yang tinggi. Selidikilah sampai tuntas, dan berhitunglah dengan teliti antara kewajaran dan risikonya.

Mau memilih repo, deposito, SBN (Surat Berharga Negara), Reskadana Pasar Uang, Reksadana Saham, emas ataupun saham semua pilihan tentu ada di tangan kita. Tapi pastikan sebelum memilih kita tahu pasti risiko-risiko yang mengikuti. Meleklah! Jangan mengikuti jejak saya: termehek-mehek menanti kejelasan seperti sekarang.

Cerdiklah melakukan analisis, #IniUntukKita juga. Jangan sampai, kehendak hati ingin untung, yang ada malah jadi buntung.

Cukup saya.



Posted

in

,

by

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *