Siang ini diisi dengan berita duka dari seorang teman, adiknya meninggal dunia. Minggu lalu kami berjanji bertemu di Jakarta ketika saya singgah beberapa hari di ibukota. Rencana tersebut mendadak dibatalkan beberapa hari sebelumnya, ada emergency untuk menjenguk adiknya yang sakit. Saya sempat bertanya tentang keadaan sang adik yang dijawab dengan sederhana hanya kelelahan dan mungkin butuh isitrahat. Berita duka tersebut, sontak membuat saya cukup kaget.
Jujur saya sendiri tidak tau penyebabnya apa dan tentu saja bertanya-tanya di dalam hati. Namun kegilaan teknologi yang ada membuat saya malu dan sedih ketika mendapati setiap ungkapan belasungkawa yang datang diembel-embeli pertanyaan, ” emangnya sakit apa? ” Saya sama dengan semua kerabat dan teman lain yang ingin tau kejelasan berita ini, tapi di titik ini saya merasa keingintahuan kita mulai menelan rasa simpati yang ada.
Bolehkah kita sedikit saja lebih respek dan memberi dukungan pada keluarga yang ditinggalkan? Tentang bagaimana dan kenapa rasanya bisa sementara waktu dikesampingkan. Coba letakan diri di posisi mereka, menjawab pertanyaan yang sama berkali-kali itu bukan hal yang menyenangkan apalagi mengingatkan tentang seseorang yang begitu disayang.
Apa itu ujian untuk keluarga agar lepas dari belenggu memori? Atau haruskah pemberitahuan kematian diembel-embeli kronologis cerita seperti di koran-koran?
Posted from Negeri Biru
Menurut socrates, tubuh itu belenggu jiwa, maka setiap kematian hendaknya dirayakan sebagai kebebasan jiwa. Selamat jalan Ganda, selamat jalan kawan!
Tawau, 2015-3-5
Ivy
*biru yang sedih dan kecewa
Leave a Reply