Merelakan

“Apa nyanyian burung bulbul akan selalu indah tak peduli dengan suasana hatinya?”

Pertanyaan ini tiba-tiba menelusup di malam Takbiran kemarin. Apa kabarmu di sana? Lama juga tak pernah memikirkanmu dengan cara ini. Akh tentu kamu tau saya yang terlihat begitu bebas ini sebenarnya satu dari perempuan melankoli yang selalu terhanyut dengan perayaan dan tanggal-tanggal penanda.

Saya sendiri tak mampu menakar kapan tepatnya kita mulai membuat parit rasa di antara kita. Tapi, lebaran tahun lalu saya jadikan penanda akan keputusan besar yang kita ambil dengan tidak rela. Keputusan bahwa kita tak punya pilihan apa-apa, keputusan bahwa kita memilih untuk tidak pernah maju dan tiba saatnya untuk mundur dan memberi jarak. Atau lebih tepatnya disebut saya yang akhirnya memutuskan.

Maaf.

Sudah beratus kali sepertinya kata ini terucap disertai derai air. Tapi apa daya, kita tak lagi punya tenaga untuk berupaya. Maka di setiap hari raya bertahun-tahun mendatang, perasaan tak rela ini akan jadi rasa yang harus saya cicil untuk ikhlaskan. Belajar memaafkanmu yang telah masuk ke hidup tanpa diundang, belajar memaafkan diri yang lengah dan memberimu tempat. Belajar memaafkan kata kita yang terlanjur berpadu. Belajar memaafkan semesta dan waktu yang memberi kita wadah untuk mengerami rasa yang tak sebaiknya dilahirkan.

Maaf.

Bisa jadi sebenarnya tak perlu kata maaf untuk segala hal yang terjadi, hanya butuh kata rela bahwa segala hal yang baik ataupun buruk akan berakhir. Bahwa tak segala hal berlangsung untuk selamanya.

Kadang kamu dipertemukan dan diajak menyelam bersama hanya untuk paham lebih tentang dirimu, tentang palung-palung terdalam hatimu dan ada seseorang yang pernah masuk dan menyentuhnya. Tidak untuk tinggal hanya untuk membuatmu sadar bahwa perasaan semacam ini ada dan nyata.

“Semoga nyanyian burung bulbul masih senyaring dan seindah dulu. Semoga.”

 

Dago 485, 2019-6-5

Ivy

*biru sedang sentimentil


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *