Kamu percaya dirimu tau hal terbaik untuknya? Saya percaya.
Buku luar biasa ini sampai di depan kamar saya pada bulan Febuari silam. Seperti tujuan awal dari penulisnya Mbak Hanny yang ingin buku ini merupa hadiah valentine buat tiap insan yang membacanya. Hadiah terindah untuk hatimu.
Saya, satu dari sekian banyak penggemar tulisan-tulisan hangat Mbak Hanny. Maka, ketika diminta membantu proses pre order buku ini, tanpa banyak pertimbangan segera bersorak dan mengiyakan. Nama saya akan ada di urutan pertama daftar pemesan, begitu sunggingan senyum kala itu.
Ketika buku itu benar-benar ada di tangan, entah mengapa malah ada perasaan enggan untuk membacanya di saat itu. Perasaan enggan untuk membawanya serta dalam perjalanan panjang menuju Vietnam dan kampung halaman.
“belum waktunya..” begitu mungkin batin saya.
“Bukunya masih di kosan, Mbak. Aku mau bacanya waktu sendiri dengan pelan dan tenang-tenang.” jawab saya ketika suatu sore Mbak Hanny menanyakan soal kesan-kesan tentang bukunya.
Saya ingat celutukannya di percakapan kala itu, “Kamu ga lagi patah hati kan, Nat?” tulisnya diikuti dengan emoticon senyum.
Saya yang berada di Padang menampik pesan itu dalam waktu sekian detik, “Ndak koq mbak!” Lalu beralasan bahwa buku kontemplasi semacam itu memang paling pas dibaca sendiri, agar terasa lebih khusyuk. “Lebih meresapi…” kira-kira begitu kilah saya.
Sedikit yang saya tau, itu bukan tidak, hanya saya yang belum mau mengakui. Sedang tubuh dan jiwa ini sudah menyadari patah-patah yang ada di dalam diri jauh sebelum saya memesan buku ini.
Tubuh dan jiwa ini berperan seperti perawat terbaik. Kalau-kalau hal yang telah tersadari dan tak ingin diakui itu terjadi, bantalan dan selimut hangat telah siap sedia. Itu mungkin alasan utama saya menyimpan break, hearts untuk waktu yang paling tepat.
Naluri? Insting? Entah..
Sekitar sebulan setelah pertanyaan yang dilontarkan Mbak Hanny, apa yang sebenarnya telah jelas itu muncul ke permukaan dan merupa jadi kenyataan yang tak lagi bisa disangkal.
Saya patah hati.
Setelah hampir 4 bulan berkelana, di sini saya sekarang merawat patah-patah yang telah saya sadari itu. Tepat di mana semuanya bermula, di kota yang saya pilih jadi sarang. Di tempat yang menjadi awalan ini, saya menyediakan waktu khusus untuk meluruhkan lapisan-lapisan pembungkus dan melawat luka-luka yang tersembunyi itu, menerima.
Seperti dugaan awal alam bawah sadar, buku ini merupa obat mujarab untuk merawat luka.
Di sini saya sekarang, pulang pada diri, mengakui hal-hal yang tak ingin diakui. Bahwa jauh di lubuk hati terdalam, tubuh kita punya banyak penanda tentang apa yang tengah terjadi. Kita hanya butuh memelan dan menyediakan lebih banyak waktu berbincang dengannya. Oh lebih tepatnya mendengarkan.
Seperti tangan-tangan telaten, buku ini membantumu untuk merawat patah hati. Bukan, bukan untuk buru-buru menutupinya dengan plester sembuh. Bukan pula untuk mengucurkan lukamu dengan segala petuah pedas yang mengurui, tapi justru memberi lukamu waktu jeda.
Buku ini akan mengajakmu berjalan kembali dengan rasa-rasa dan emosi yang tersimpan di lapis-lapis terdalam. Ada begitu banyak kertas kosong di buku ini yang disiapkan untuk memuntahkan luka-luka lama, ego dan emosi yang kita gengam erat-erat hingga bernanah.
Mengajak kita untuk rebah dan memberikan pelukan tanpa kata-kata dan penghakiman pada diri sendiri. Sekali lagi berkata pada hati bahwa kita akan baik-baik saja. Pasti.
Cukup sediakan pena kerelaan dan segelas teh hangat penerimaan diri.
NOTE: Mbak H, terima kasih sudah jadi teman seperjalanan yang begitu hangat dan mencerahkan lewat kata-katanya. Adore you even more.
Dago 485, 2018-7-4
Ivy
*biru masih patah-patah tapi jauh lebih lega
Tulisan ini bukan bentuk promosi
Leave a Reply