Selayang pandang Cafe Rumah 1930

“Memang jika Tuhan menghendaki, semua pasti ada jalannya!” Kata itu pasti begitu sering kami dengarkan, bukan? Tapi baru kali ini saya mendengarkan langsung kisah hidup yang begitu memukau dan mencengangkan! Perjalanan seseorang ini penuh dengan kejutan dan hamburan bunga kasih dari Tuhan. Tak habis-habisnya saya berdesah “How lucky u are!” Orang beruntung yang saya maksud adalah chef dari salah satu cafe baru di Bandung, Cafe Rumah 1930.

Cafe Rumah 1930 yang beralamat di Taman Cibeunying Selatan 37 ini adalah salah satu cafe pendatang baru di Bandung. Interior cafe ini bergaya retro, mengusung nuansa Belanda lewat lukisan-lukisan repro karya Van Gogh yang digantungkan di tembok-temboknya. Kesan retronya semakin diperkuat degan pemilihan furnitur dari kayu dan foto-foto jaman baheula alias “jadul abis.” Suasananya benar-benar mencerminkan suasana rumah, yang disulap jadi cafe! Betapa tidak, masih terdapat beberapa sekat pembatas ruang yang mungkin oleh pemilik cafenya sengaja dibiarkan sebagai pelengkap interiornya. Di bagian paling belakang dekat dengan dapurnya, terdapat beberapa “dangau” atau saung kecil bagi yang lebih memilih pengalaman makan yang lebih membumi: makan ala lesehan lengkap dengan bantal-bantal nyamannya.

Penamaan cafe ini terbilang unik, karena mencantumkan tahun berdirinya bangunan itu sendiri. Makanan yang disajikan juga sangat beraneka ragam, mulai dari yang khas Indonesia sampai dengan steak dan segala jenis tetangganya. Makanan yang paling dibanggakan di sini adalah pepes ikan mas Majalaya. Agak disayangkan malam itu saya dan teman-teman tidak memesan makanan tersebut. Mungkin lain waktu kami akan mampir kembali untuk mencoba menu andalan tersebut.

Setiap pesanan makanan yang dibawa ke meja kami disajikan dengan begitu artistik. Tak perlu diragukan, ada sentuhan Eropa di setiap piring itu. Makanannya ditata begitu rupa sehingga memperlihatkan kesan cantik; sayang kami lupa membawa kamera sehingga tidak dapat menyertakan foto-foto makanan yang kami lahap di sana. Bentuk penyajiannya yang anggun itu jelas menambah rasa penasaran kami mengenai kenikmatannya sendiri. Penampilan memang bukan segalanya, tapi dengan berpenampilan indah, pastinya kesan yang tersampaikan jadi lebih baik.

Rasa dari makanannya pun terbilang mantap! Bagi beberapa dari lima teman saya yang makan bersama malam itu, kali ini adalah kunjungan mereka yang kedua dan ketiga. Mereka begitu senang akan suasananya yang homey, dan menu masakannya, tentu saja. Ini membuat saya sedikit heran, mengapa cafe ini masih sepi pengunjung. Malah sempat terlontar gurauan, kami harus puas-puasin makan di sini, karena takutnya nanti cafe ini cepat-cepat bangkrut dan tutup. Usut punya usut, ternyata pihak marketingnya memang masih menyusun strategi pemasaran yang tepat. “Maklum masih 1 bulanan,” kata Arita, pemiliknya yang berasal dari Padang.

Hal menarik lainnya yang pasti akan disukai adalah cemilan gratis yang diberikan pada setiap tamu selagi menunggu pesanan mereka disajikan. Cemilan gratis yang disediakan juga akan beragam setiap bulannya. Untuk bulan ini, cemilannya adalah pisang caramel plus satu scoop es krim coklat! Sounds delicious, eh?

Ada satu hal yang betul-betul istimewa di sini. Setelah kami selesai bersantap, tiba-tiba kami diminta mengisi guestbook plus diminta berfoto bersama oleh pemiliknya. Foto kami itu akan dipajang di facebook sebagai salah satu ajang promosi mereka. Tapi tidak hanya itu: masih ada kejutan lain yang lebih heboh, yaitu kami mendapatkan kesempatan untuk berbincang-bincang langsung dengan chefnya. Maklum, waktu itu kami adalah pengunjung terakhir yang masih ogah untuk beranjak dari sana.

Pertama yang terlintas di pikiran saya: lucu juga dapat bertemu langsung dengan chef yang masakannya baru saja kami santap. Bagian paling istimewanya adalah mendengarkan langsung kisah hidup chef yang begitu menakjubkan dan menginspirasi. “Ini toh chefnya…” itulah kata-kata pertama yang tersirat di benak ketika pertama kali berkenalan dengan Andri, sang chef muda itu. Malam itu, sambil mengenakan celana jeans dan kaos oblong, Andri tampak sangat santai. Saya tebak ia telah menanggalkan pakaian dinasnya sebagai chef, karena waktu itu waktu sudah menunjukkan pukul 22.10, sementara jam tutup dari Cafe Rumah 1930 adalah 22.00.

Obrolan pertama yang kami jadikan topik adalah tema dari menu masakan Cafe Rumah 1930 yang beraneka ragam dan sepertinya ingin menonjolkan kekhasan masakan Indonesia. Andri mulai mengutarakan dasar-dasar pemikirannya yang berujung pada cerita betapa beruntungnya ia karena mendapatkan kesempatan belajar memasak di salah satu restoran ternama di Swiss, tepatnya di sebuah hotel di Baden. Semua itu, seiring Andri bercerita, ia dapatkan bukan karena kegigihan usahanya.

Keberuntungan Andri sungguh di luar pemikiran seorang manusia normal untuk berkhayal. Kisahnya berawal ketika ia yang masih duduk di bangku kuliah Enhaii bekerja sambilan sebagai sopir angkot jurusan Kalapa-Ledeng. Tak ada yang menyangka, tidak juga dirinya, bahwa di angkot Kalapa-Ledeng itulah ia menemukan keberuntungan yang mengubah jalan hidupnya.

Di sanalah Andri bertemu dengan seorang “bule” yang memang sedang mencari mahasiswa-mahasiswa berbakat untuk dididik dan diajak ke luar negeri. Sewaktu itu, Andri sendiri tidak mengenal si bule ini, yang sebenarnya adalah salah satu chef kelas dunia di Swiss. Apalagi, “gaya dan dandanan Mr. Eric begitu merakyat, bahkan ia rela naik angkot,” ujar Andri.

Rezeki memang tidak akan lari kemana. Titik terang bagi hidup Andri bermula dari pertemuannya di angkot dengan Mr. Eric, yang beberapa kali datang ke Enhaii untuk mencari bakat-bakat muda yang brilian. Ketika Andri lulus,salah seorang temannya yang biasanya menggantikan shiftnya sebagai sopir angkot mengantarkan kabar bahwa Mr. Eric sedang mencari dirinya. Andri ternyata terpilih untuk dididik dan diajak serta ke Swiss. Meski sempat ragu, ajakan Mr. Eric ini tetap dicoba oleh Andri, dan terbukti, itu memang takdir yang dituliskan Tuhan untuk Andri.

“Memang jika Tuhan menghendaki, semua pasti ada jalannya!” Sekali lagi, itulah kalimat yang paling tepat untuk menggambarkan keberuntungan Andri yang akhirnya dibawa serta ke Swiss. “Orang bego ini akhirnya bisa lihat langsung yang namanya Menara Eiffel,” selorohnya malam itu. Sembilan tahun lamanya Andri menuntut ilmu di dapur bersama Mr. Eric, yang bahkan mengajaknya berpetualang ke Irlandia, Cina, dan Filipina. Kegembiraan atas kelahiran kedua anaknya hanya sempat dirasakannya melalui telepon, begitu pula kesedihan akibat kematian ibunya, tetapi itu tidak kalah meriah dan mengharukan karena ditemani oleh semua mitra kerjanya di restoran hotel di Baden itu.

Belum rampung Andri menceritakan tentang kisah-kisah menariknya di luar negeri, saya telah bertanya-tanya dalam hati, “Mengapa ia kembali ke Indonesia?” Usut punya usut, ternyata istri Andri menderita leukemia yang sekarang telah mencapai stadium III. Inilah rupanya yang menjadi penyebab utama Andri banting setir dan kembali ke kampung halamannya. “Istri saya sudah begitu baik dan setia selama saya meninggalkannya ke luar negeri. Sekarang, saya hanya ingin mengabdikan semua waktunya untuk menemani istri saya di saat-saat terberat dalam hidupnya,” ujar Andri, membeberkan keadaannya sekarang. So sweet

Namun, istri Andri rupanya adalah seorang wanita yang hebat. Ia menolak niat baik Andri yang ingin menemaninya 24 jam sehari di rumah. Alasannya pun begitu mulia, “Jangan memberi contoh yang jelek bagi anak-anak dengan menganggur. Carilah pekerjaan!” Pesan istrinya itulah yang menurut pengakuan Andri menjadi awal perjalanan karir memasaknya di Bandung, lebih spesifiknya di Cafe Rumah 1930.

Tak dinyana, restoran yang teras dan papan namanya demikian bersahaja itu ternyata begitu disarati oleh sejarah di dalamnya—baik dalam gedungnya, maupun dalam diri orang-orangnya. Kita hanya perlu melangkah masuk, dan restoran ini akan membawa kita dunia penuh cerita dan hikayat, dan tentu saja menemani perjalanan kita dengan sajian-sajian anggun yang menggoda selera dan juga menggugah mata, karya Chef Andri yang sungguh romantis dan sarat pengalaman. Mampirlah, berteduhlah sementara di Cafe Rumah 1930, dan rasakan sendiri kehangatannya.

Bandung,2009-03-22

ivy

*thx buat Jeng Chriswan yang sudah membantu proses editing n finsihing ^^




Posted

in

,

by

Tags:

7 responses to “Selayang pandang Cafe Rumah 1930”

  1. abbok Avatar
    abbok

    Fiuhh..tepuk tangan buat niatnya nulis sepanjang ini.. 😀
    Kapan2 deh gw ke Bdg,ditraktir di sini yak..*ngarep* wkwkk

  2. blueismycolour Avatar

    hahaha…
    yaa kl emg niat baek jgn setengah-setengah kn? xb
    yg ada elo yg traktir gw di sini… >,<

  3. za Avatar

    Wuiii jd pengen mampir ke kafe 1930

    Makasih juga dah mampir 🙂

  4. penggemarmalmil Avatar

    Waaah … Jadi tergerak buat mampir nih ..

    1. blueismycolour Avatar

      hahaha..
      silahken! ^^
      thx sblm na uda berkunjung k sini
      >,<

  5. Novi Widià Soler Avatar
    Novi Widià Soler

    gimana dengan harga??

    1. blueismycolour Avatar

      harga na cukup bersahabat mbak untuk ukuran cafe. Tapi saya juga uda lama ga ke sana, kurang tau kalau ada kenaikan sekrg. hehehe…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *