Berpetualang selalu menjadi kegiatan yang menyenangkan dan penuh dengan kejutan. Itu merupakan satu dari banyak alasan mengapa saya secara pribadi senang melakukan perjalanan ke tempat-tempat baru. Unsur kejutan ini memberi warna yang berbeda-beda pada setiap kisah, salah satunya tentu saja menemukan teman baru dalam petualangan. Teman seperjalanan adalah jiwa, hal paling luar biasa yang dapat diperoleh oleh seorang pejalan dalam pengembaraannya.
Dari banyak kisah intim saya menemukan teman seperjalanan, teman baru saya yang satu ini paling unik. Mengapa? Karena teman baru yang saya temui di Kinabalu Park bulan Maret kemarin berkaki empat. Ya, seekor anjing, yang kami namai Mazi.
Kisah pertemuan kami pagi itu tanpa basa-basi dan berjalan begitu saja. Awalnya kami dikejutkan dengan bunyi semak-semak di tengah hutan yang disusul oleh sesosok anjing kampung bewarna kuning yang menyalip kami dari dekat dengan cepat. Hal pertama yang terlintas di kepala saya, anjing ini pemberani. Beberapa kali dia menyalip kami dari dekat, berhenti untuk bermain air dan kembali mendahului.
Hal selanjutnya yang membuat saya lebih memperhatikannya, kaki belakang kanannya yang agak sedikit diangkat saat berlari, mungkin habis cedera. Di telinga kirinya pun ada bekas luka yang sudah mengering. Sepertinya hidup tak memperlakukan gadis kecil ini dengan baik.
Kami meneruskan perjalanan menuju Botanical Garden, bertemu beberapa pejalan lain yang ikut terkesima dengan anjing yang terus mengikuti kami. Beberapa mencoba memanggil untuk sekedar bermain, namun pada akhirnya dia tetap kembali mengikuti kami. Mengharukan. Sebagai pecinta anjing yang selalu bermimpi punya anjing untuk diajak berpetualang bersama, sesaat Mazi membuat mimpi saya jadi nyata.
Setelah kami selesai mengelilingi Botanical Garden, kami mulai lapar dan berencana berbagi makan siang dengan Mazi. Sembari mencari restoran, saya yang selalu membawa bekal biskuit gandum mencoba memberi Mazi biskuit itu. Mazi menikmati setiap potong dari biskuit dengan begitu lahap. Dimulai dengan keraguan namun perlahan berubah menjadi keberanian, dia mulai mengambil langsung makanan dari tangan kami.
Ternyata cukup sulit menemukan restoran yang cocok, beberapa kali Mazi coba diusir oleh penjaga ataupun pekerja di sekitar Kinabalu Park. Bekal biskuit saya tandas namun perut kami setengahnyapun belum penuh. Kami bahkan sempat memberikan es krim yang juga dilahapnya dengan cepat. Saat itu kami berada di depan gate Timpohon dan butuh waktu sekitar 15 menit untuk turun.
Kami memutuskan untuk berjalan turun menuju restoran Panataran yang berada di seberang Kinabalu Park. Seandainya Mazi mengikuti, maka kami akan berbagi menu makan siang dengannya. Namun, persis di depan gerbang Kinabalu Park, Mazi menemukan teman baru. Seorang turis asing yang sedang mengunyah snack sembari berjalan jadi teman Mazi selanjutnya. Ada sedikit kecewa dan lega yang bercampur ketika akhirnya Mazi meninggalkan kami. Cukup banyak anjing liar di depan sini, begitu kami menghibur hati ketika akhirnya menikmati makan siang di restoran.
Sore menjelang senja kami memutuskan untuk berjalan kaki mencari tempat sesuai untuk menikmati matahari yang pulang ke peraduan. Senja tak terlalu merah sore itu, namun pemandangan lain membuat mata kami menjadi merah. Di tengah jalan tempat kami berencana menikmati senja, seekor anjing dilindas mati. Saya masih merinding jika membayangkannya sekarang. Tragis. Seketika saya teringat Mazi.
Cukup lama kami tertegun dan tak berbicara sepatah katapun. Senja sore itu berubah menjadi dramatis dan penuh kenangan luka. Saya bahkan bertanya apa anjing yang mati dilindas bisa bergentayangan dan mencari pembunuhnya? Tentu saja tak ada jawaban untuk itu. Saat semua keterkejutan berangsur menjadi rasa lapar dan tamparan angin malam, kami melanjutkan perjalanan ke arah restoran Panataran kembali.
Tak banyak restoran di sekitar Kinabalu Park, ditambah khon law mee yang kami nikmati tadi siang begitu nikmat, menjadi alasan yang cukup untuk mengunjungi restoran itu kembali. Sekitar 10 meter menuju restoran terdengar salakan anjing yang cukup nyaring. Tebak, siapa yang datang menyambut kami? Mazi. Ya, dia menyadari kedatangan kami dari jauh dan kami mendengar suaranya untuk pertama kali.
Banyak emosi yang berkecamuk saat melihat Mazi malam itu. Lega ternyata anjing yang dilindas bukan Mazi, takut bahwa tak menutup kemungkinan hal tersebut bisa terjadi pada Mazi kapan saja. Namun satu yang pasti: Mazi dan kami sama-sama bahagia ketika akhirnya kembali bertemu. Malam itu kami memesan satu menu tersendiri untuk Mazi dan saya sendiri yang mengaduk-aduk dan mencabik-cabik makanannya, mengajaknya bermain, memperlakukannya seperti putri.
Sampailah di saat perpisahan, kami harus kembali ke hotel yang berjarak sekitar 3 km dari restoran, dan cukup banyak anjing liar berkeliaran di sepanjang jalan. Hal yang kami takuti pun terjadi: Mazi terus mengikuti hingga hampir setengah perjalanan. Kami berhenti berkali-kali untuk mengusirnya, namun dia sungguh gadis yang keras kepala dan terus membuntuti kami.
Saya bertanya-tanya apa dia takut membiarkan kami berjalan di gelap malam? Atau dia merasa menemukan “rumah” yang selama ini dicari? Miris kami mengusirnya, sebab dengan penuh gigih dia terus mengikuti. Hingga di beberapa belokan terakhir Mazi dihadang oleh kerumunan anjing liar yang siap menerkamnya. Teman saya dengan segera berlari dan menghalau kerumunan anjing liar dan kembali memaksa Mazi untuk berbalik arah. Namun sungguh dia gadis yang luar biasa, dengan lebih waspada dia tetap mengikuti kami.
Kami mulai berdiskusi tentang kemungkinan Mazi benar-benar mengikuti kami hingga ke hotel. Di mana akan meletakannya nanti? Ada makanan apa yang bisa dibagi untuk Mazi setiba di hotel? Lalu kami kembali dikejutkan dengan suara salakan anjing di depan, kami menunggu Mazi yang menjaga jarak karena selalu diusir. Beberapa menit berlalu, namun Mazi tak juga terlihat. Tebakan kami, Mazi memutuskan untuk kembali pulang, mungkin sedikit trauma dengan peristiwa penyerangan sebelumnya.
Sepanjang sisa perjalanan kami terus mengamati ke belakang, memastikan bahwa Mazi benar-benar tidak lagi mengikuti kami. Di saat itulah kami menamainya Mazi, dengan mengingat betapa gigihnya dia. A-mazi-ng. Sepanjang malam kami tetap mengawasi daerah sekitar hotel, mencari-cari sosok Mazi, namun tak ada jejak. Kami hanya berharap dapat bertemu lagi dengan Mazi esok siang untuk terakhir kalinya sebelum bertolak ke Kota Kinabalu.
Sayangnya hingga saat terakhir kami harus pulang, kami tak lagi bertemu dengan Mazi. Kami mengamati setiap anjing yang berlalu lalang di sekeliling restoran, bahkan salah mengira seekor anjing lain sebagai Mazi. Kami jadikan saja ini sebagai penanda bahwa kami harus kembali untuk untuk menaklukkan Gunung Kinabalu dan mengunjungi teman kami, Mazi.
Bagi yang berkendaraan di sekitar Kinabalu Park, tolong pelankan pedalmu! Berprikebinatanganlah, makhluk berkaki empat itu sering kali tak awas dengan jalan. Lalu, tolong sampaikan salam hangat saya untuk Mazi jika sekiranya ada yang berkunjung ke sana.
Padang, 2015-3-20
Ivy
*biru merindu Mazi
Leave a Reply