Kematian sendiri adalah proses penyeimbang bagi kehidupan. Garis batas, penanda, tujuan, dan piala. Kematian seharusnya membuat kita menghidupi hidup dengan lebih baik, membuat kita berpacu dengan waktu yang tak tentu untuk semakin dan semakin giat menjadi manusia. Karena pada akhirnya, kehidupan ini adalah persiapan dan perayaan akan kematian.
Kemarin malam, sebuah perbincangan membawa saya dan seorang teman kembali ke kematian. Topik paling purba selain cinta, dan tak akan pernah selesai dibahas. Selalu dilingkupi misteri.
“Aku pernah bertemu dengan orang yang berumur 125 tahun!” ujar teman saya, yang segera saya timpali dengan: “Wow… perjalanan yang panjang! Berapa banyak kehilangan yang pernah dia alami?”
Teman saya tak menjawab pertanyaan itu secara langsung, namun menambahkan, “Jika boleh memilih, saya tidak ingin hidup selama itu.” Pernyataan yang dengan serta-merta saya salami. Saya bilang, sayapun demikian. Hidup abadi itu terlalu pedih. Terutama proses kehilangan orang-orang terdekat yang menguliti jiwamu satu persatu.
Apa saya tidak takut dengan kematian?
Bohong jika saya jawab tidak.
Mungkin hanya segelintir manusia dengan tingkat pencapaian tertentu saja yang tidak lagi takut dengan momok yang satu ini dan saya tidak termasuk ke dalam kelompok elit batin tersebut. Hampir setahun yang lalu saya kehilangan Ayah, peristiwa besar yang mengubah hampir seluruh hidup saya. Sebuah goresan besar yang membuat saya semakin mengerti dan paham tentang kehilangan dari kematian.
Kematian selalu meninggalkan luka dan duka; bukan bagi yang manusia yang pergi dan tak lagi bernyawa, tapi bagi manusia terdekat yang ditinggalkan. Orang-orang terkasih akan merasa kehilangan sosok, sandaran, panutan, sahabat, pasangan jiwa, teman hidup, atau ketergantungan jenis apapun itu. Peristiwa kehilangan ini akan membagi hidup menjadi sesudah dan sebelum kejadian. Menyobek sepersekian jiwa yang tak akan pernah utuh kembali.
Peristiwa kehilangan ini terlalu perih untuk dialami berkali-kali jika saya tidak mati, abadi. Menjadi orang yang ditinggalkan kematian berkali-kali jauh lebih menyakitkan dan memilukan dibandingkan orang yang dijemput kematian. Ini alasan utama saya tidak ingin hidup mencapai usia 100 atau lebih, jika boleh.
Kematian sendiri adalah proses penyeimbang bagi kehidupan. Garis batas, penanda, tujuan, dan piala. Kematian seharusnya membuat kita menghidupi hidup dengan lebih baik, membuat kita berpacu dengan waktu yang tak tentu untuk semakin dan semakin giat menjadi manusia.
Berdamai dengan kematian merupakan langkah utama untuk mampu menghargai kehidupan. Saat kita sadar dan sepenuhnya yakin tentang kematian dan hal-hal yang menyertai, kita seharusnya belajar untuk hidup lebih baik. Karena pada akhirnya, kehidupan ini adalah persiapan dan perayaan akan kematian.
Apakah kamu ingin mati? Jika sudah mampu menjawab iya, maka pertanyaan penting selanjutnya adalah seberapa siap kamu menghadapi kematian? Saya, kita, dan semua sedang sama-sama mempersiapkan pesta kematian kita, disadari atau tidak.
Karena pada akhirnya jiwa-jiwa yang robek itu butuh pulang, butuh putus, dan pupus untuk menjadi berarti. Doa saya, semoga kelak jika saat pesta tiba, saya sudah mempersiapkan diri dengan baik.
Agar hidup tak membiarkan saya mengalami kehilangan terlalu banyak–dan jika tak berlebihan; bolehkah saya meminta hak istimewa untuk bertemu kematian dalam lelap tidur? Ah, saya tahu, hanya orang-orang tertentu yang boleh menerima hak khusus ini, dan besar mimpi dan harap saya untuk menjadi satu di antaranya.
*tulisan ini sebelumnya sudah diterbitkan di kamantara.id
Leave a Reply