Sepatu Baru

Pagi ini saya dibangunkan dengan kepanikan. Pasalnya, ponakan saya yang naik SMA 1 sedang menjalankan MOSnya di Bandung. Keputusan untuk membuatnya belajar mandiri,  sepupu saya melepaskan anaknya untuk merantau ke Bandung dan masuk asrama. Pagi itu, sang anak mengatakan ternyata sepatu yang dikenakan ke sekolah harus hitam sampai ke sol sepatu. Ultimatumnya, besok sudah harus menggunakan sepatu yang benar, alhasih kakak sepupu saya panik.

“Kamu bisa bantu belikan ga?” tanyanya terburu-buru begitu telepon saya angkat. Belum tuntas mata ini terbuka, keresahan sudah mendesak di seberang sana. Menunggu saya mencerna, dia mulai bercerita untuk melerai kepanikannya sendiri.

Dongkol, itu perasaan pertama yang muncul. Pagi ini setelah dua hari kemarin kembali menyelesaikan segala kerusuhan akibat menghilang selama 10 hari tanpa bicara, tanpa buku, tanpa gadget dan internet, saya berencana untuk duduk “ngaso” sembari melamunkan apa-apa yang telah saya dapatkan di perjalanan “terkurung dalam pikiran sendiri” itu.

Kakak sepupu saya tak juga berhenti berceloteh, memaparkan beberapa opsi seperti membelinya dari Jakarta dan mengirimnya ke Bandung via travel, membelinya dari tokopedia dan berbagai hal lain yang bisa dia pikirkan. Sembari menelan kedongkolan saya, tiba-tiba “DEG” satu ingatan baru melintas. Serta merta saya tersenyum.

Tanpa berpanjang-panjang, saya mengiyakan padanya untuk mencarikan sepatu baru untuk sang ponakan. Berjanji akan mencarinya hingga ketemu dan menghantarkan sepatu tersebut ke asrama sebelum sore. “Tenang, nanti Lia yang cari ya..” ucap saya menenangkannya.

Begitu telepon saya tutup, saya cekikikan. Saya tak dapat menahan tawa betapa cepat karma bekerja ucap saya dalam hati.

Begini, di penghujung silent retreat, kami diberi kesempatan untuk saling berkenalan dan berbicara. “Supaya ga kaget kembali ke dunia nyata..” ucap pemakrasa. Ketika itu saya berkenalan dengan seorang tante yang juga berasal dari Bandung. Perbincangannya sederhana dan ga neko-neko. “Umur berapa? Uda punya rencana menikah?” Tanpa keki, pertanyaan itu saya jawab dengan lugas dan jujur, belum punya rencana apa-apa. Seperti ibu-ibu lainnya yang khawatir dengan anak perempuan, ia kemudian mengingatkan tentang masa ovarium yang memiliki tanggal expired. “Nanti susah punya anak loh!” ucapnya. Pernyataan itupun saya jawab dengan senyum, “aku ga berencana punya anak sih.” Sang tante diam beberapa saat lalu memandang seakan saya alien yang turun ke bumi. “Hah.. kenapa?” tanyanya dengan penasaran. Saya tau membahas detil tak akan ada gunanya, maka saya merangkum jawabannya. “Dunia uda terlalu penuh, toh masih bisa kan merawat anak orang lain..” ucap saya sembari tersenyum mencairkan suasana.

“… merawat anak orang lain.” *GONG

Tak perlu waktu lama, sang karma menibankan buah dari ucapan saya hanya dalam waktu 3 hari. Serta merta segala kedongkolan karena pagi yang seharusnya dimulai dengan tenang, dengan meditasi dan jalan pagi berubah menjadi rusuh ini menguap. Saya lega, tersenyum cekikikan dan bergegas mandi untuk perjalanan mencari sepatu baru sang ponakan.

 

Bandung, 2019-07-10

ivy

#dearmyself: Praktek Vipassana bukan sekedar untuk disimpan rapi di dalam kamar, tetapi justru ikut terasah ketika berkontak dengan dunia luar. 


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *