Seluk Beluk Pengangguran

Sudah 433 hari berlalu sejak saya memutuskan untuk keluar dari pekerjaan formal saya dan menyandang gelar pengangguran. Apa saja yang terjadi? Banyak. Kebetulan, pertemuan, permenungan, perjalanan, pelajaran, kemalangan oh kehilangan ayah salah satunya. Lepas dari segala ria-ria dan duka lara kehilangan itu, saya akan dengan tegas menjawab saya menikmati saat-saat ini dan tidak menyesalinya. Tentang waktu yang saya lewati dan nikmati, jika harus mengulang, saya akan tetap memilih pilihan ini.

Beberapa pelajaran penting yang saya dapatkan selama jadi pengacara (pengangguran banyak acara) lebih dari setahun:

  1. Belajar mengimani kata cukup dan bersyukur untuk setiap perintilan yang ada. Pertama-tama perlu disadari cukup itu memang ilmu tingkat tinggi. Merasa cukup itu pembelajaran seumur hidup yang harus dilatih hari demi hari, hingga seringan bernafas
  1. Menjadi semakin percaya dengan kebetulan dan pertanda yang dapat saja merupa kesempatan, berkat atau jalan. Belajar lebih peka membaca situasi dan kondisi, jangan menunda yang nanti akan mendatangkan penyesalan.
  1. Lebih melebarkan hati dan tabah untuk segala peristiwa. Banyak hal yang pertama-tama hanya perlu diterima, baru kemudian dapat dicarikan penyelesaiannya. Ada hal-hal, yang tak peduli sekuat apapun kamu tak pernah mendatangkan hasil jika ditahan, seperti kemarahan, kekecewaan dan dendam
  1. Setiap kita unik dan punya kesempatan untuk memilih bagaimana kita ingin dikenang, di bagian sejarah mana kita ingin ditulis, hargai saja. Beri jarak bagi tiap pribadi untuk mengambil pilihannya, toh tak ada benar dan salah di sini. Hanya jalan untuk mencapai tujuan.
  1. Tidak memiliki pekerjaan tetap meresahkan orang sekitar, meski tidak pernah meminta sepeserpun dari mereka. Senyumi saja dengan tulus. Namanya juga hidup, kita tidak pernah bisa menyenangkan semua orang kecuali kita alih profesi jadi penjual es krim.

Apakah kamu merasa cukup dan puas dengan hidupmu? Jika jawabannya ya, abaikan saja suara sumbang. Yakinlah, tak peduli apapun pilihanmu, suara-suara itu akan tetap ada. Selentingan-selentingan itu hanya pelengkap untuk menyadarkan bahwa ketaksempurnaan hidup yang disyukuri yang membuat hidup jadi hidup.

Pada akhirnya, pekerja kantoran, pengangguran, setengah ngantor, setengah freelance, proyekan, jualan, bisnis, apapun pilihan menu-mu dalam meracik pundi-pundi, semoga kamu menghidupinya dan bangga dengan itu. Sebangga kamu mengelu-elukan klub bola favoritmu.

Saya percaya kita punya kegilaan masing-masing yang harusnya tak perlu mengintimidasi kegilaan lainnya. Sederhananya, rezeki sudah ada yang mengatur. Masa? Saya percaya.

Jika suatu saat kamu bertemu para pengangguran yang sedang meraba-raba jalannya, tolong tawari kami pekerjaan atau proyek ketimbang menjejali kami dengan petuah-petuah untuk mencari pekerjaan tetap demi masa depan yang cerah. Oh, atau traktir saja kami makan siang, hitung-hitung beramal pada teman.

live ur life, baluran East java

Doa saya: semoga kita memilih cara yang tepat untuk menjadi gila. Karena hidup sudah terlalu penuh untuk dinikmati dengan mengeluh!  

Padang, Mei 2016


2 responses to “Seluk Beluk Pengangguran”

  1. rizkirizki Avatar

    Hidup ini memang sebuah kegilaan. Kalau mau dipikirkan, kerja, nikah, hidup lalu mati. Jatuh seperti daun-daun.
    Sebenarnya bekerja itu kan bukan hanya dorongan ekonomi, tetapi lebih ke dorongan psikologis.
    Makanya, orang yang bekerja itu biasanya larut dalam waktu. Sedangkan yang pengangguran selalu gelisah (walaupun memiliki banyak uang). Dan supaya gilanya tidak melewati batas, memang harus membersihkan “jiwa”, paling tidak menjadi berguna untuk orang sekitar saja, bukan?
    Kenapa banyak pengangguran yang menjadi pelaku kriminal? Mungkin saja mereka kurang sadar dan “jiwa” yang tidak sehat lagi. Mungkin saja. Tak tahu juga. Bagaimana menurut anda, bung?

    1. blueismycolour Avatar

      @rizkirizki bisa jadi bung. Saya pun pejuang hidup. Tapi satu yang saya yakin, hidup itu bukan utk bekerja tapi kita butuh bekerja utk hidup. Soal pelaku kriminal masalah na lbh kompleks dari sekedar “jiwa”, ada dorongan n tekanan lain yang biasanya mengaburkan pandangan. Mungkin ya mungkin.
      Terima kasih berkunjung 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *