Mimpi-Mimpi Semu yang butuh Disadari

“I thought I wanted something, but it turns out I didn’t. End of story. I want the reward and not the struggle. I want the result and not the process. I was in love with not the fight but only the victory.” ~ Mark Manson, The Subtle Art of Not Giving a F*ck

“Iya ya. Kalau nasehatin atau nyemangatin orang buat ngejar mimpi aku bisa, eh giliran diri sendirinya malah enggak bisa,” cerocos seorang teman baru di tengah deburan ombak sore ini.

Serta-merta senyum merekah di wajah saya. “Biasa itu!” saya menyemangatinya.

Saya lantas teringat dengan buku yang tengah saya baca, The Subtle Art of Not Giving A F*ck, karya Mark Manson. Buku luar biasa ini berisi begitu banyak tamparan untuk saya. Salah satunya berbunyi:

“I thought I wanted something, but it turns out I didn’t. End of story. I want the reward and not the struggle. I want the result and not the process. I was in love with not the fight but only the victory.”

Seberapa sering kita punya keinginan yang hanya berhenti sampai ingin saja? Berapa banyak kata ‘tapi’ yang kita gunakan untuk menampik jawaban bahwa sebenarnya kita tidak benar-benar menginginkannya? Berapa lama kita terus-terusan menyemangati diri untuk menggapai apa yang kita pikir kita inginkan–lalu mencari-cari berbagai alasan untuk tidak sungguh-sungguh mengejarnya?

Menasehati dan menyemangati orang–termasuk diri sendiri–hanya butuh kata-kata. Namun untuk mengubah perkataan tadi menjadi perbuatan, butuh energi yang luar biasa. Tanjakan pertama yang harus dilalui adalah niat. Bukankah banyak orang bilang, yang paling sulit adalah memulai?

Niat jugalah yang kelak menjadi ujian dan harga yang membedakan orang-orang yang hanya ada di tahap bermimpi dan berharap menerima hasil akhir secara tiba-tiba; dengan mereka yang rela mengorbankan waktu dan tenaga membayar harga yang pantas untuk sebuah impian yang sungguh-sungguh diinginkan.

Seperti kotoran dalam tubuh yang sebaiknya dibuang berkala setiap hari agar sehat, bayang-bayang mimpi semu yang tak benar-benar ingin kita usahakan ini sebaiknya direlakan saja. Dilepaskan dengan penuh terima kasih, supaya hidup terasa lebih ringan. Melpangkan kepala dan hati, agar tak bengah dan sakit; tak merasa seolah ada hal-hal yang masih mengganjal karena belum sempat (atau tak terlalu ingin) dikejar.

 

Kalau kamu, impian apa yang rela membuatmu bertaruh waktu? Dan adakah impian-impian masa lalu yang memberatimu dan ingin kamu lepaskan?

Photo 9-28-17, 4 35 55 PM

 

 

tulisan ini sebelumnya sudah diterbitkan di sini.

 


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *