Menjalani Hidup Bahagia

“Sejak kapan kamu mulai hidup bahagia?” tanya mas Setyo Jojo melanjutkan percakapan setelah tau saya bekerja sebagai freelancer. Ketika itu saya hanya tertawa lepas mendengar penggunaan frasa hidup bahagia.  Sedikit yang saya tau, diam-diam saya mengamini frasa itu sepenuh hati.

“Tak ada hidup yang lebih bahagia ketimbang menjadi tuan atas waktumu ~blueismycolour”

“Baru 2 tahun lebih mas dan ternyata masih hidup.” timpal saya ikut bercanda. Mas Jojo dan beberapa teman yoga lain ikut tertawa.

Keinginan saya bekerja sebagai freelancer tentu tak muncul serta merta begitu saja. Saya ingat betul, kejadian pertama yang menampar saya telak menyoal pekerjaan. Kala itu seorang teman telah lebih dulu menjalani hidup bahagiannya, bekerja dari mana saja selama ada koneksi internet. Celutukan saya ketika itu, “Edan, hidup elo menyenangkan banget deh! Bikin iri…”

Celutukan saya yang kemudian dibalas dengan kalimat sederhana yang tak bisa saya lupakan hingga saat ini. “Kalau mau hidup kayak gua ya tinggal buat hidup elo kayak gua aja..” ucapnya sembari tersenyum. Kala itu saya melongo dan ingin betul menamparnya. Rasanya ingin serta merta berteriak, “Pret.. Elo kira segampang membalik telapak tangan.”

Sekitar 5 tahun berselang, ketika akhirnya saya punya kesempatan dan keberanian untuk mengambil jalan berbatu yang penuh ketakpastian ini. Saya menjadi paham apa yang dikatakan teman saya benar adanya. Tak mudah tapi jika itu maumu maka terjadilah.

Ya, ternyata keputusan untuk hidup bahagia (versi saya) hanya butuh berdamai dengan ketakutanmu dan memantapkan niat. Menyadari dengan pasti apa-apa yang mungkin terjadi dengan pilihanmu dan tetap tak berganti haluan atau menjadikan seribu satu tapi sebagai tameng perlindungan. Terpenting, menukar kenyamanan keuanganmu dengan sesuatu yang tak pasti. Sebagai balasannya, waktumu adalah sepenuhnya milikmu.

Bekerja sebagai freelancer merubah definisi saya tentang banyak hal, terutama tentang waktu. Membuat saya semakin mengamini apa yang dikatakan Seneca. Bahwa waktu adalah hal paling mahal di dunia ini. Waktu tak pernah bisa terbeli tak peduli sebanyak apapun uang yang kamu punya, setiap manusia akan tetap memiliki 24 jam sehari.

7752a725-5a26-46c8-8a33-f4caad7bc789
Salah satu restoran di Dieng, 2018 diabadikan oleh Anggara Mahendra

Menjadi freelancer juga berarti bersedia ikut dalam arus ketidakpastiaan hidup. Bersedia mengerjakan pekerjaan sampah demi mengisi perut. Bersedia berhemat dan menurunkan standar hura-huramu ke level terbawah di saat-saat kritis. Bersedia dibayar murah demi untuk pengalaman. Bekerja di mana saja, kapan saja dan dalam kondisi apa saja termasuk sakit. Ini yang sering luput untuk diikut sertakan dalam perhitungan. Oh, tapi tentu saja pekerjaan ini termasuk bonus kemewahan tidur siang setiap hari! ^,*

Lalu, apa semua orang harus bekerja sebagai freelancer? Saya rasa tidak mesti. Tiap kita punya prioritas dan pilihan yang berbeda. Semua itu sah-sah saja selama dijalani dengan penuh sukcita dan kerelaan penuh. Bukankah perbedaan belokan ini juga yang membuat perjalanan hidup anak manusia jadi bewarna dan unik?

Dago 485, 2018-8-29

ivy

 

 


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *