3 Pelajaran Berharga di Tahun 2018

Life begins at the end of your comfort zone. – Neale Donald Walsch

Di mana batas zona nyamanmu? Buat saya batas itu saya langkahi di tahun 2015 silam. Ketika memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan tetap dan memulai hidup dengan ketidakpastian di tahun 2016. Langkah itu tentu saja dimulai dengan perlahan dan pelan.

Seperti anak kecil yang belajar berjalan, saya mulai merangkak di tahun pertama, lalu di tahun berikutnya dengan tergopoh-gopoh belajar berdiri. Baru di tahun ini saya merasa mampu berdiri tanpa pegangan. Apa pelajaran yang saya peroleh di tahun ketiga belajar berjalan ini?

1. Waktu adalah currency yang paling akurat

IMG_1718
Burake, Makale Sulawesi Selatan 2018

Ketimbang mengukur segala hal dengan uang, saat ini saya mengukur banyak hal dengan waktu. Nyaris 3 tahun berkutat dengan pekerjaan yang memberi fleksibilitas yang begitu longgar justru membuat, saya sadar betul betapa berharganya waktu.

Uang bisa dicari kembali, sedangkan waktu tak pernah bisa berbalik. Ada hal-hal penting yang tak terbayar dengan uang, seperti pertemuan singkat dengan teman baik di kota kelahirannya. Mengunjungi teman yang ditimpa musibah, menemani sahabat di kala kehilangan.

Mari jujur, bukankah di lubuk hati yang terdalam yang terhitung itu adalah banyaknya waktu yang direlakan orang lain untuk kita?

2. Investasi paling tepat itu pada manusia

IMG_1553
some of my favorite people in the world, Nusa Kambangan 2018

Bagaimana kamu mendefinisikan sukses? Punya beberapa rumah? Punya mobil? Punya handphone terbaru? Buat saya sukses adalah punya koneksi yang kuat dengan teman-teman terbaik saya. Berhasil nyelip di foto keluarga salah satu teman ketika sang adik menikah misalnya. Menjadi orang pertama yang dicari ketika kesulitan, menjadi orang yang diceritakan berita bahagia.

Saya percaya manusia itu makhluk sosial, masih dan akan terus begitu. Maka pencapaian berharga itu adalah membuat koneksi intim dengan manusia lain bukan dengan benda-benda tak bernyawa.

Pernah merasakan jalaran hangat yang sulit dijelaskan ketika dipeluk erat oleh seorang yang tadinya asing dan kemudian menerimamu dengan utuh di rumahnya?

“Main-main ke sini,  anggap ini rumahmu!” Belakangan perasaaan haru ketika mendengar kalimat ini yang jadi tujuan saya berjalan. Perjalanan saya berubah haluan. Semua tak lagi sekedar menyoal tempat tapi lebih mengerucut menjadi manusia.

Di sisi lain saya juga paham betul bahwa kita tak mungkin bisa menyenangkan semua orang, maka letakkanlah waktu dan tenagamu pada orang-orang yang tepat. Ya, poin ini akan terhubung sangat erat dengan poin pertama, tentang bagaimana caramu bersikap, bagaimana caramu membagi waktumu.

3. Bertanggung jawab penuh atas rasa, pikir dan tindakmu.

635c3cfe-e210-4c08-816b-0dbc980864fd
Bandung, 2018

Jika sebagian orang ingin kaya, ingin sukses atau ingin bahagia, saya ingin damai. Berdamai dengan diri sendiri.

Buku Nassim Nicolas Taleb yang berjudul Skin in The Game yang bahkan belum mampu saya selesaikan, memberi jawaban atas pencarian saya. Cara pandang yang ditawarkan di buku itu membuat saya berdecak kagum sekaligus sadar tentang apa yang selama ini saya cari.

Bukankah kita sering dengan mudah menyalahkan orang lain, keadaan atau bahkan takdir untuk segala hal yang terjadi pada kita?

Beberapa bulan terakhir, saya belajar untuk menerima tanggung jawab besar atas tindak tanduk, rasa dan apapun yang saya pikirkan. Saya ingin menjadi nahkoda bagi diri sendiri, punya kesadaraan penuh atas apapun yang terjadi pada diri. Tak lagi meletakkan sebab di luar diri.

Patah hati, kecewa, marah, kesal, benci, bahagia, terharu, puas, penuh atau perasaan apapun yang ada, dapat saya rasakan karena saya mengizinkan hal tersebut ada. Seperti segala hal yang tak abadi, perasaan ini juga tidak. Maka baiknya dinikmati selagi terasa, sembari ditelisik lebih detil akar dari rasa-rasa tersebut baik yang positif ataupun yang negatif.

Percakapan-percakapan absurd yang terjadi setiap pagi atau setiap malam  pada lembar-lembar diary adalah bentuk komitmen saya untuk mendengarkan sang diri. Bukankah tanggung jawab pertama seorang manusia adalah berjabat tangan dengan dirinya sendiri?

Terima kasih 2018 untuk memberi saya pemahaman tentang tiga pelajaran di atas. Meski jujur saja, ketiga pelajaran di atas tentunya bukan sesuatu yang bisa khatam saya lakukan dalam 1 tahun. Saya sadar betul ketiga pelajaran ini adalah pembelajaran yang harus terus menerus saya kaji dan ulang sepanjang usia. Tak ada batas akhir, tak ada garis finish. Semua orang adalah guru, semua orang adalah murid.

Hey 2019, semoga tahun mendatang mengajarkan saya untuk lebih banyak berkaca, lebih banyak mengamati, lebih banyak memahami.

Doa saya, “Ajarkan saya untuk menerima yang harus diterima dan merelakan yang harus direlakan.”

NB: Pesan terakhir, apapun yang penting buat saya belum tentu penting buat orang lain. Hal yang valid buat saya belum tentu valid untuk orang lain. Maka tak usalah sepenuhnya percaya dengan yang saya tulis. Hal terpenting mari menghidupi hidup sesuai yang kita pilih dan terima tanggung jawabnya ya.  Ojo misu-misu kalau uda sampai di pintu neraka.

Makale, 2018-12-30

ivy


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *