Kemarin malam, dengan impulsif tercetuslah ide untuk menjambangi Solo. Rencana yang langsung saya amini dengan senyum lebar. “Berangkat jam berapa?” Dijawab dengan sunggingan senyum dan kata “Bebas, tapi bagusan pagi biar puas makannya.” . Saya tersenyum balik sembari membatin, ini pasti jadi perjalanan singkat yang ‘penuh’ .
Sekitar pukul 08.50 kami tiba di station Purwosari. “Kita turun di sini aja, lebih dekat. ” Semalam, saya sudah diwanti-wanti, kami akan berjalan dulu menjauhi station baru kemudian mencari becak untuk diajak berkeliling sampe sore. Saya setuju. Maka semua tawaran, kami lewati dengan senyum. Kami terus berjalan dan berjalan menyusuri jalanan Solo, hingga nasi liwet jadi perhentian pertama.
Selesai mengganjal perut, jalan pagi kami lanjutkan. Sepanjang perjalanan beberapa becak coba menawarkan jasa mereka, namun belum menemukan kata sepakat. Kami terus berjalan hingga bertemu becak yang satu ini. Kesantunannya langsung membuat kami bersetuju menyewa becaknya.
“Ngiter-ngiter sampe sore, pinten pak?” tanya teman saya. Pertanyaan yang dijawab dengan senyum ” limo puluh, tapi kalau dikasi lebih yo ora po po ” Hal pertama yang langsung membuat kami sumringah.
Setelah mengayuh sekitar 15 menit, pak becak bertanya “Tempat makannya di mana mbak?”. Rupa-rupanya karena informasi yang kurang lengkap, kami nyasar. Hal paling luar biasa, “maaf ya mbak, jadi lewat jalan ini lagi. Tadi salah belok.. ” Saya dan teman kembali terenyuh, kami yang salah, dia yang berpeluh tapi dia pula yang minta maaf. Tulus sekali.
Saat akhirnya sampai di tempat yang dituju, kami bersepakat mengajaknya ikut makan. Dia malu, tapi setelah dipaksa akhirnya ikut masuk. ” mau makan apa pak? ” Dengan sungkan dia memilih menu paling murah tanpa embel-embel. Pun saat akhirnya selesai makan, dia pamit dengan sopannya ” makasih mba, saya pamit nunggu di becak ya. ” lagi-lagi membuat jiwa kami menghangat.
Setelah beberapa kali membuatnya menunggu saat kami berbelanja batik, kami memutuskan untuk kembali mencari cemilan mengisi perut. Seorang teman lain yang asli Solo merekomendasikan sebuah tempat. Perjalanan sekitar 30 menit dengan becak kami tempuh tanpa hasil. Pak becak tidak sedikitpun mengeluh, malah sekuat tenaga membantu kami mencari tempat itu. Siang itu panasnya poll, saya yang di dalam becak menyerah kepanasan. “Maaf pak, jadi mutar-mutar tanpa hasil, padahal panas banget” ucap saya. Lalu dengan suara yang penuh tulus dijawab ” uda kerjaan saya e. Ndak pa pa.. ” kami kembali terenyuh dengan sikap santun dan sabarnya
Pada akhir perjalanan, ketika secara tiba-tiba cuaca Solo berubah drastis dan mulai gerimis, dengan cekatan pak becak memasang mantel penutup becaknya. Hal-hal yang dikerjakan sepenuh hati biasanya mampu menyentuh kalbu. Pak becak ini salah satunya. Pekerjaan nya sederhana namun sungguh ada sosok manusia bersahaja di balik kucelnya. Mungkin dari orang-orang begini lah kita pantas berguru kata tulus sepenuh hati. Doa saya, semoga manusia-manusia langkah begini mampu mengarungi hidup dan tidak teralterasi dunia.

Terima kasih mengajari kami mengimani kata tulus.
Jogja, 2016-3-22
Ivy
*biru yang masih dalam euforia n haru
Leave a Reply