“Neng, tidak buru-buru, kan? Sing niatnya ikhlas pasti sampai.” Saya terdiam dan kehabisan kata-kata. Saya pandang-pandang lagi sosok kakek luar biasa ini lalu merasa malu karena sempat meragukan ketulusannya pada awal perjumpaan. Riuh renyah obrolan menyatu bersama musik yang mengalun pelan dari radio di ponsel salah satu pengunjung. Sesekali pengumuman kedatangan kereta memeriahkan stasiun kecil…
“Neng, tidak buru-buru, kan? Sing niatnya ikhlas pasti sampai.” Saya terdiam dan kehabisan kata-kata. Saya pandang-pandang lagi sosok kakek luar biasa ini lalu merasa malu karena sempat meragukan ketulusannya pada awal perjumpaan.
Riuh renyah obrolan menyatu bersama musik yang mengalun pelan dari radio di ponsel salah satu pengunjung. Sesekali pengumuman kedatangan kereta memeriahkan stasiun kecil ini. Seharusnya, Paramex—kereta api—tujuan Solo yang akan saya dan Ibu naiki masuk 10 menit yang lalu. Namun, apa mampu kami dan seluruh penumpang selain hanya menunggu?
“Pramex tujuan akhir Solo Balapan masuk di Jalur 5.” Pengumuman yang ditunggu-tunggu akhirnya berkumandang. Saya bergegas mengambil posisi agak depan dengan harapan, setidaknya, Ibu bisa mendapatkan tempat duduk. Untunglah Stasiun Lempuyangan pagi itu tidak seberapa ramai. Alhasih saya dan Ibu berhasil duduk manis selama perjalanan lima puluh menit menuju Solo.
Kunjungan singkat ini sudah saya rencanakan beberapa bulan lalu. Bertualang dengan orangtua tentunya berbeda dengan teman. Saya harus memperhatikan banyak faktor terutama kemudahan akses transportasi. Inilah salah satu alasan yang membuat saya memilih Solo sebagai destinasi kunjungan.
“Turunnya di Stasiun Purwosari aja, ya!” Pesan seorang teman yang berdomisili Yogya kepada saya. Berbekal informasi tersebut saya dan Ibu turun di Stasiun Purwosari yang letaknya satu stasiun sebelum Solo Balapan. Benar saja stasiun ini lebih kecil dan lebih lengang dari hinggar bingar turis.
“Becak, Neng?” Beberapa kali saya menggeleng dan melewati mereka dengan sopan. Lagi-lagi berbekal pesan dari teman, saya berjalan menyusuri Jalan Slamet Rayadi. “Jalan saja sedikit menjauh, supaya dapat harga yang lebih murah.”
Berjalan sekitar 5 menit menyusuri jalan utama kota Solo, saya berhenti sejenak untuk mencicipi nasi Liwet. Salah satu kuliner khas Solo yang berupa nasi gurih dengan suwiran ayam, telur, sedikit sayur, dan areh. Nah, bubur gurih dari kelapa ini yang membedakan nasi liwet dengan nasi uduk di daerah Jawa lainnya.
Selesai menganjal perut, saya dan Ibu berjalan sedikit lagi dan berhenti di depan salah satu hotel berbintang. Tak jauh dari sana, sebuah becak terparkir sedang menikmati semilir angin pagi.
“Ngiter-ngiter Solo pinten, Pak?—Putar-putar Solo berapa, Pak?” Saya mencoba membuka perbincangan. Bapak tua ini memandang saya tersenyum dan segera berdiri. “Naik saja dulu, nanti bayar serelanya.” Saya terkesiap, pikiran negatif segera mengalir di otak saya. Dalam hati saya berpikir, bapak tua ini pasti nanti menjebak saya.
“Jangan begitu, Pak. Biasanya berapa?” Sang bapak masih dengan senyum menawarkan saya naik. “Kalau saya sebut, nanti kemahalan. Jadi naik saja, lihat sendiri berapa jauh kita jalan.”
Setelah beberapa saat, akhirnya si Bapak setuju dengan harga 75 ribu Rupiah yang saya tawarkan. “Saya cuma mau makan selat Solo, ke Pasar Klewer, Keraton, dan Roti Orion, Pak. Sesudahnya, langsung balik ke stasiun Solo.” Saya memberi tahu dia soal tujuan saya.
“Ini ke selat Solo dulu?” tanya si Bapak yang segera saya jawab dengan anggukan. Selat Solo atau yang dikenal dengan beef steak Jawa adalah menu khas daerah Surakarta. Menu ini biasanya terdiri dari wortel, kentang, kacang panjang, selada, telur rebus, dan beberapa potong daging sapi has dalam yang disiram dengan kuah encer bewarna cokelat seperti semur. Namanya sendiri berasal dari ‘salad’ yang kemudian disebut ‘selat’.
Membelah kota Solo di tengah teriknya surya siang itu terasa lambat. Kami seperti melakukan slow motion. Si Bapak Becak begitu santai mengayuh pedal-pedalnya dan tak banyak bicara.
“Ini mal paling bagus di Solo,” katanya saat kami melewati Paragon Mall. Saya tersenyum mengiyakan. Pastinya bapak ini warga Solo yang bangga dengan kotanya, antusiasme melekat kuat di kata-kata dan tingkahnya. Mengayuh becak perlahan sembari memperlihatkan kemolekan kota kesayangannya.
Berselang beberapa menit, kami sampai di warung selat Solo rekomendasinya. “Selat solo di sini enak, Pak?” tanya saya ketika turun. “Saya ndak pernah coba, tapi banyak tamu yang minta diantar ke sini,” jawabnya diiringi senyum sungkan. Hati saya terenyuh mendengarnya dan tanpa pikir panjang saya ajak dia ikut serta makan bersama.
Namanya Mbah Muji. Laki-laki berusia 81 tahun ini beranak lima, bercucu sembilan, dan bercicit empat. “Rumah saya itu satu RT, loh, dengan Pak Jokowi!” Sembari makan, dengan lancar dia bercerita soal keluarganya. Anaknya sudah terpencar ke mana-mana, ada yang di Jogja, ada yang kerja di Matahari Supermarket.
“Kerja apa aja yang penting jujur,” celotehnya penuh tawa. 8 ribu Rupiah harga yang saya keluarkan untuk cerita hidup yang sepaket dengan semua filosofinya. Senyum saya mengembang bersama tiap suapan selat Solo yang disebut juga gelatin.
Tujuan kami selanjutnya Pasar Klewer. Mbah Muji menceritakan bahwa pasar ini berpindah tempat karena insiden kebakaran yang baru-baru saja terjadi. Tak menghabiskan waktu lama di pasar, kami segera menuju Keraton Solo. Ini kunjungan pertama Ibu ke Solo, maka rasanya wajib untuk melihat kemegahan lorong-lorong lebar perpaduan Eropa dan Jawa di Keraton Solo.
Sekeluarnya dari Keraton, tak lupa saya mengabadikan foto Mbah Muji yang langsung sigap bergaya di depan becaknya. “Mau ke mana lagi, Neng?” tanyanya ramah. “Ke roti Orion terus langsung ke stasiun kereta aja, Mbah.”
“Tidak mau singgah ke Pasar Gede Harjo?” Mbah Muji menawarkan. Saya dan Ibu ragu, lalu dengan segera Mbah Muji menyarankan untuk melewati pasar tersebut, “Siapa tahu mau lihat-lihat,” tambahnya.
“Mbah, kita jadi mutar-mutar nggak?” tanya saya dari dalam becak sembari melihat Google Map. “Ndak apa-apa, kan namanya ngiter-ngiter Solo toh?” Ketika menyadari seberapa jauh kami berputar, lagi-lagi saya berkata, “Mbah, mutarnya lumayan dan sekarang panas. Ndak usah aja.”
Sembari tetap mengayuh pedalnya, dengan santai Mbah Muji menjawab, “Neng, tidak buru-buru, kan? Sing niatnya ikhlas pasti sampai.” Saya terdiam dan kehabisan kata-kata. Saya pandang-pandang lagi sosok kakek luar biasa ini lalu merasa malu karena sempat meragukan ketulusannya pada awal perjumpaan.
Ketika akhirnya kami berpisah di Stasiun Solo Balapan, tidak lupa dia memberikan saya nomor ponselnya. “Kalau ke Solo lagi dan mau mampir ke rumah saya, silakan, ya!” ucapnya penuh riang.
Senyum Mbah Muji siang itu terpatri kuat di ingatan saya lengkap dengan pelajaran tentang ikhlas. Ketulusan, kepasrahan, dan kerelaan dengan niat meletakkan hati di pekerjaannya.
—— Tulisan ini sebelumnya telah publish di wewerehere.id
Leave a Reply