Segelas Milo hangat, selangit bintang, pantai pribadi, orkestra ombak, dan selimut damai. Saya kehabisan kata-kata.
Seketika saya lupa sudah dengan rasa sakit melilit di ulu hati yang membuat saya terjaga sepagi ini. Hilang sudah segala umpatan yang terlontar saat menyeret kaki keluar dari kamar menuju dapur. Musibah sakit maag ini berubah menjadi hadiah terindah hanya dalam hitungan menit. Keinginan saya menikmati Milo sembari memandang pantai menjadi keputusan yang paling saya syukuri.
Tanpa beralas kaki dengan segelas minuman hangat di tangan, saya berjalan perlahan menuju pintu depan. Hebatnya masyarakat di sini, pintu rumah jarang mereka kunci. “Tenang saja Mbak, motor dengan kunci di mulutnya pun tidak akan hilang! Di sini aman,” begitu tutur pemilik homestay saat saya bertanya ke mana harus meletakkan motor yang sudah dipinjamkan secara cuma-cuma kemarin sore. Jelas ini tak lagi bisa ditemukan di kota-kota besar.
Jam 04.45. Dalam hati saya bergumam, apa masih mungkin melihat bintang subuh ini? Sesegera saya mendongak ke langit, mata berbinar dan senyum tak bisa lepas dari wajah ini. Ya, ada bintang, dan bukan satu, melainkan selangit penuh. Saya berlari ke kamar dan kembali dengan kamera. Pemandangan luar biasa ini harus diabadikan, minimal jadi pengingat betapa alam selalu punya kejutan untuk membuatmu terpesona, ternganga gagu lalu gemetar terharu.
Pagi itu, berteman ombak tak habis syukur saya panjatkan. Sudah barang tentu saya tak lagi merindukan jam tidur yang sempat terkorupsi oleh perut. Tidak, saya berjalan menyusuri bibir pantai lalu duduk manis memandang garis cakrawala menemani sang surya yang perlahan-lahan merekah. Saya seperti melihat pementasan langit yang seakan-akan dipentaskan hanya untuk saya, hangat. Ini satu dari banyak momen terbahagia dalam hidup saya.
Hal-hal tak tertebak yang mampu menghangatkan hati dan menyentuh kalbu, serendipity dari sebuah perjalanan. Seiring dengan suara cacing di perut, seorang ibu penjajah kue lewat dengan motornya.
Dalam hati saya bergumam, “Selamat pagi, Biduk-biduk, terima kasih untuk kecupan pagimu.”
Leave a Reply