Menjadi Lebih Diri

menyapa indonesia 1
everything in you is awesome, biduk-biduk East Kalimantan

 

Saya percaya hidup ini proses mengkoreksi diri secara terus menerus dan di dalam proses ini kita butuh teman untuk mengingatkan dan menyemangati.

Perbincangan dengan seorang teman, mentriger kembali kenangan-kenangan masa lalu saya. Tentang proses bertumbuh, berkembang dan menjadi diri. Kita semua pernah ada di posisi terendah, ketika tidak yakin dengan apa yang ada di balik kulit dan daging ini, pasti. Itu proses hidup yang dilewati semua manusia.

Saya yang saat ini menyakini diri sebagai wanita mandiri, dulu pernah ada di posisi itu. Posisi anak manja yang takut dengan dunia, menyandang segala kegelisahan dan ketakutan ibu. Membawanya seperti gempolan berharga dan hampir menjadikannya bagian dari diri saya. Hampir saja.

Saya bertumbuh dewasa dari manusia pemalu dengan ruang lingkup teman yang sangat sempit, terlalu sulit percaya dengan segala yang ditawarkan hidup. Keinginan-keinginan saya membuat saya jadi penuntut, saya menjadi begitu sensitif dan selalu meletakan diri di posisi korban. Saya ini lemah dan butuh di lindungi, saya ini penakut dan butuh ditemani, saya ini rentan dan butuh dimengerti, persis bayi besar yang selalu ingin dikelonin. Memalukan jika dikenang, namun penting jadi pengingat.

Satu hal yang saya syukuri, mengambil langkah berani keluar dari selimut nyaman saya dan berkuliah di Bandung. Pada fasa-fasa awal, saya seperti parasit yang bergantung dengan seorang teman baik yang juga berkuliah di Bandung. Saya ngintil ke manapun dia pergi, persis anak sapi. Sampai suatu waktu, segala kesibukan mencerdaskan diri menjadi jedah penghalang yang cukup lebar. Saya sendiri, saya terpojok, saya bersedih,  saya merasa ditinggalkan. Saya marah pada hidup. Saya menangis setiap malam, saya terluka, saya merasa menjadi makhluk yang paling tersakiti.Naif. Luar biasa berlebihan dan terlalu mendramatisir. Tapi sungguh itu yang saya rasakan dan saya bersyukur pernah mengalaminya.

Perasaan marah, kecewa dan sedih yang melingkupi saya lantas membuat saya mau tak mau belajar untuk keluar, menjalani sendiri. Bagi seorang manusia super melankolis bukan hal mudah untuk mampu makan sendiri di tengah keramaian, untuk memulai percakapan, untuk berbagi cerita, memasuki komunitas baru, membuka diri. Sebagai manusia pengamat yang senang dengan pojok dan menghayati detil, proses ini menelanjangi saya. Sungguh.

Dorongan kemarahan yang membuat saya punya kekuatan saat itu. Saya bertekad untuk memperlihatkan bahwa saya mampu berjuang sendiri. Perasaan luka sering kali punya dua sisi, membuatmu terpuruk lunglai atau membuatmu punya alasan untuk memulai. Lagi-lagi saya bersyukur proses terluka saya tak berhenti hanya di keterpurukan. Dengan luka itu saya punya alasan untuk jadi lebih baik.

Perlahan tapi pasti, saya mulai belajar untuk ada di tengah. Membangun pertemanan dengan lebih sehat tanpa segala aura naif dan menuntut yang berlebihan. Saya menulis dan menulis setiap malam, merekam setiap detil emosi saya yang ternyata tanpa saya sadari membantu banyak dalam proses ini. Saya bertumbuh, saya berkembang dan mulai menjadi sosok yang lebih nyaman dengan dirinya. Proses ini penuh air mata yang tak seharusnya tumpah tapi saya bangga.

Jika menilik lagi semua kenangan itu, saya sering kali tersenyum simpul. Betapa saya pernah bodoh dan naif, betapa saya pernah jadi manusia yang sebegitu menyebalkan, betapa saya pernah manja dan pundungan pada hidup. Hal-hal ini selalu jadi pengingat buat saya, bahwa semua butuh proses. Tak ada yang instan, tak mungkin ada. Kita semua melalui tahapan yang sama.

Lalu jika di tengah perjalanan hidup kamu dipertemukan dengan orang-orang yang dulu pernah kamu lakoni, saya merasa punya kewajiban untuk menyemangati mereka berproses. Menurutmu? Tentu tanpa bermaksud mengatakan saya sempurna dan mereka naif, tapi saya percaya hidup ini proses mengkoreksi diri secara terus menerus dan di dalam proses ini kita butuh teman untuk mengingatkan dan menyemangati.

Tulisan ini menjadi salah satu cara saya untuk menyemangati dan meyakinkan bahwa jalan ini berliku namun bukan tak mungkin untuk dilewati. Semoga kita semua tak lelah untuk terus berproses menjadi lebih diri.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *