Pernah merasakan panggilan yang tak terjelaskan untuk mendatangi suatu tempat? Saya pernah. Dan itu dimulai dari sebuah foto yang akhirnya menerbangkan saya hingga tertawan di danau dua rasa.
Di foto itu terlihat sebuah perahu seperti melayang. Saya tertegun. Ketika saya telusuri lokasinya, ternyata masih merupakan bagian dari nusantara. Bak cinta pada pandangan pertama, saya tak henti memuja, memimpikan, dan mencari jalan untuk mewujudkan impian saya. Persis dua tahun lalu, akhirnya saya mampu ‘memeluknya’ erat dan bertekuk syukur atas perjalanan ke tempat tersebut.
Tempat itu bernama Desa Labuan Kelambu di Biduk-Biduk, Kalimantan Timur. Untuk mencapainya, saya menggunakan tiga macam alat transportasi dan menghabiskan waktu lebih dari sehari. Sebandingkah? Saya bahkan rela mengulanginya kapan pun jika diminta.
Hari Pertama: Perjalanan Panjang Menuju Berau
Perjalanan seorang diri di bulan Juni 2014, dimulai dari Bandara Tarakan, Kalimantan Utara. Sebuah taxi bergegas mengantarkan saya menuju dermaga dengan tarif Rp 65.000,. Di sana, saya membeli tiket speedboat seharga Rp 100.000 (tarif Juni 2014) untuk menyeberang ke Tanjung Selor, ibu kota Kabupaten Bulungan sekaligus ibu kota provinsi.
Perjalanan sekitar satu jam berimpitan di dalam Anugrah –nama speedboat yang saya tumpangi- ini, banyak cerita yang saya dapat. Pasangan usia lanjut dengan kemesraan yang menghangatkan hati, anak kecil yang meringkuk pulas di lantai kapal, ibu-ibu yang tak berhenti bercerita, gadis pendiam yang dari mukanya terlihat tidak menikmati perjalanan laut, dan kaki yang mulai kaku karena tak punya cukup ruang gerak. Perjalanan ini jauh dari kategori nyaman. Tapi atas nama pengalaman, hal ini menjadi lebih dari berharga.
Setibanya di Tanjung Selor, saya segera menghubungi sopir travel yang rupanya sudah menunggu di seberang dermaga. Sekitar dua jam saya menunggu hingga akhirnya mobil penuh. Segera membayar Rp 100.000 dan avanza hitam yang mereka sebut travel ini melaju menuju Berau. Perjalanan diwarnai dengan lubang di kiri-kanan jalan, kelokan patah, sawah, dan tentunya langit biru. Maka, berita-berita yang berkata bahwa jalan lintas Sumatera dan Kalimantan itu mampu membuat ibu-ibu hamil melahirkan di jalan adalah benar adanya.
Menjelang petang, saya menginjakkan kaki di kota yang konon merupakan timbunan dari emas hitam. Seorang teman yang bekerja di sana, menemani saya mencari hotel yang letaknya strategis. Saya menginap semalam di hotel Eksklusif dengan rate Rp 225.000 per malam. Kemudian, saya dibawa berkeliling kota dan mencicipi sate ayam emperan paling mahal yang pernah saya makan, Rp 35.000 per porsi. Rasa-rasanya timbunan batu bara ini membuat harga jadi kian melonjak. Maka jangan kaget jika harga air mineral botolan berkisar Rp 8.000-10.000 per botol.
Hari Kedua: Menuju Biduk-Biduk
Keesokan harinya saya dijemput oleh Is, sopir travel Berau-Biduk-Biduk. Sistem travel di sini sesederhana membuat janji, dijemput dan diantarkan langsung ke tempat dan membayar ongkos sebesar Rp 130.000. Bersama dengan tiga orang penduduk lokal lain, dua jerigen penuh minyak tanah dan beberapa kardus belanjaan memenuhi kursi belakang, perjalanan berliku selama enam jam menuju Biduk-Biduk itu dimulai.
Sebenarnya ada rute yang lebih mudah dan cepat menuju Biduk-Biduk. Yaitu, menggunakan penerbangan ke Berau, kemudian dilanjutkan dengan travel menuju Biduk-Biduk sekitar enam jam perjalanan. Rute lewat Tarakan yang saya tempuh ini memang agak memutar, tapi dengan tambahan cerita-cerita menarik.
“Ini Biduk-Biduk, Mbak! Desa kami ya cuma begini ini,” seru Is merendah. Kalimat pembuka yang saya terima ketika ternganga melihat deretan bakau di pinggir pantai yang berpasir putih. Airnya yang jernih dan langit di atasnya bagai lukisan. “Semoga tidak menyesal,” tambahnya.
Saya membalikkan badan. Dan dengan mata setengah berkaca, saya berkata, ”Bang, desamu indah di luar kata. Sungguh!”
Sore pertama di Biduk-Biduk, saya habiskan berkeliling desa dengan sepeda yang dipinjamkan secara cuma-cuma oleh pemilik penginapan Selvia. Untuk kebaikannya ini harga 150.000/malam tentunya lebih dari sebanding. Saya menikmati pantai dengan pohon-pohon kelapa condong yang lebih banyak sapinya ketimbang manusianya.
Hari Ketiga: Kencan Intim di Labuan Cermin
Tujuan awal saya tak lain adalah berkencan mesra dengan danau sebening kaca. Memasrahkan diri pada keindahannya. Meski dengan segala persiapan mental dan riset intensif yang saya lakukan, duduk manis dengan kaki menyentuh air, wajah diterpa sengatan matahari pagi dan angin yang sekali-kali menyapa tetap mendatangkan sensasi magis yang membuat haru.
Nama Labuan Cermin yang diperoleh karena kebeningan airnya ini menyimpan keunikan lain. Danau ini memiliki dua rasa yang berasal dari penumpukan lapisan. Air asin dengan salinitas lebih tinggi ada di dasar danau, sedangkan air tawar ada di permukaan. Ketebalan air tawar ini bervariasi antara 1-4 meter tergantung musim penghujan atau kemarau. Untuk mencapai danau kita perlu menyewa boat seharga Rp 100.000 per perahu yang bisa diisi maksimal 10 orang.
Saya menghabiskan hampir setengah hari di tepian danau. Tak lupa saya berkeliling dengan perahu kecil, berenang, membaca, merenung, dan mengobrol dengan beberapa pengunjung yang datang silih berganti. Dapat dikatakan, saya melakukan hampir semua aktivitas yang mungkin dilakukan di sana, termasuk trekking singkat selama 15-30 menit menuju danau lain yang berukuran lebih kecil.
Sulit dijelaskan betapa saya menikmati tiap detik berada di sana. Hingga suara perut yang berdemo membuat saya menyudahi kencan intim ini. Ryan, adik dari supir travel kemarin, diutus menemani saya berkeliling Biduk-Biduk. Untuk yang satu ini, sebut saja saya beruntung. Saya selalu dipertemukan dengan warga setempat yang mau membantu saya dengan tulus.
Sehabis makan, Ryan membawa saya ke sungai Serai yang berjarak sekitar 30 menit dari desa. Dalam perjalanan saya bertemu bekantan besar dan liar. Dalam keluarga monyet dan kera, monyet belanda ini sangat pandai berenang dan menyelam. Tak terabadikan tapi terekam di ingatan.
Sungai Serai sendiri adalah muara kecil dengan tanaman bakau yang sangat fotogenik. Dari jumlah bakau yang terlihat, dapat dipastikan banyaknya jenis ikan yang hidup di sini. Siang itu hanya ada beberapa pemancing ikan di sana. “Kami sering nongkrong di sini sehabis pulang sekolah, Kak,” kata Ryan.
Tertawan Biduk-Biduk
Sejujurnya, saya datang ke desa ini dengan hati was-was karena bepergian sendiri. Namun nyatanya, mata dan hati saya malah dimanjakan, syukur senantiasa terpanjatkan. Saya menyaksikan pantai berpasir putih nan indah yang menjadi pembatas desa. Saya melihat sapi-sapi yang lebih sering menghalangi jalan ketimbang mobil. Meskipun jaringan telepon masih terputus-putus di Biduk-Biduk, listrik yang hanya menyala dari pukul 6 sore hingga pukul 6 pagi; namun, siapa pula yang butuh listrik di tempat yang bagai kepingan surga ini? Menikmati pemandangan alam jauh lebih menjanjikan. Menyaksikan bintang bertebaran di langit kala subuh jauh lebih mendamaikan. Berada di sini membuat saya lupa dengan hal lain.
Setibanya di penginapan Selvia tempat saya menginap, kejutan belum berakhir. Ketika gerimis mulai perlahan berhenti muncullah panorama indah lainnya, yakni pelangi. Kali ini tidak satu tapi dua! Saya menahan air mata haru ketika melihat pemandangan itu persis di depan penginapan yang berjarak dua kali kayang dan dua kali salto saja dari pantai.
Danau bening dua rasa ditutup dengan dua pelangi. Hidup saya benar-benar sempurna.
Saat meninggalkan desa ini, hati saya seperti balon yang melambung tinggi. Tanda kebahagiaan dan syukur yang membuncah. Tempat ini membuat saya merasakan kenyamanan pulang. Hanya satu yang saya lewatkan, yaitu menyeberang ke Teluk Sumbang dan Pulau Kaniungan yang mana terdapat air terjun di sana. Harga penyewaan perahu yang dibandrol Rp 500.000 terasa terlalu berat untuk saya bayar sendiri. Di lain kesempatan, begitu doa saya.
Ketika mengingat cerita perjalanan di Biduk-Biduk, ada jalaran hangat yang membangkitkan zat endorphin agar saya bersyukur karena pernah diizinkan mencecap sepotong surga di sana.
(*)
*Tulisan ini sebelumnya telah terbit di republika rubrik zoom in pada tanggal 31 July 2016
Leave a Reply