“Gudang Sarinah ini tempat apa Mbak? Emang ada apa di sana?” tanya supir gojek yang super kepo pada saya sore itu.
Dengan senyum sungging dan sedikit sok tau saya menjawab, “Ada Jakarta Biennale. Tempat inkubasi dan perhelatan ide-ide kreatif mas!” Jawaban tepat yang membuat mas-mas gojek ini bingung, lalu memilih fokus mencari jalan ketimbang sibuk mengintrogasi saya.
Sejujurnya, Jakarta Biennale adalah acara seni dua tahunan dengan taraf internasional. Jakarta Biennale 2017 ini adalah perhelatan ke 17 dari acara akhar ini. Kali ini topik yang diangkat berjudul JIWA.
Tema ini juga yang kemudian membuat saya semakin bertanya-tanya tentang karya-karya yang akan disuguhkan. Apa karya-karya ini dinilai mampu mengusik Jiwa?
*
Warna hijau dari instalasi tokopedia yang begitu rapi menjadi warna dominan ketika memasuki tempat ini. Masuk lebih jauh, sebuah panggung kecil dengan kedai kopi dan warung sederhana memperlihatkan suasana keakraban.
Langkah lalu saya arahkan menuju ruangan belakang. “Wah..” dengan serta merta mata saya berbinar melihat sekolam penuh mawar emas. Semakin mendekat, saya sadar, mawar-mawar ini bertahta indah di antara enceng gondok. Iya enceng gondok yang biasanya tumbuh di kolam-kolam comberan itu.

Karya yang berjudul, Enceng Gondok Berbunga Emas ini adalah karya Siti Adiyati. Di dalam kolam berukuran 20 x 8 meter ini, terdapat 1900 tangkai bunga mawar plastik emas.
“Satir..” hanya itu yang terlintas di pikiran saya ketika melihat kolam ini. Karya yang pertama kali dipentaskan di tahun 1979 ini punya maksud yang sangat mendalam. Harga setangkai mawar plastik emas dulu setara dengan 1 kg beras raskin. Saat ini harganya menjadi 4x lipat. Betapa semakin lebarnya jurang kesenjangan yang terbuka.
Tapi jika saya boleh mengintepresikannya, karya yang telah mengarungi waktu ini juga bisa dilihat dengan cara yang berbeda. Bukankah di masa ini semua orang berlomba-lomba untuk mengupayakan diri terlihat ‘beken’ ? Berusaha keras untuk menampilkan imaji-imaji yang sebenarnya mencekik dan membelit diri. Seperti enceng gondok yang ingin berbunga mawar emas. Bunga palsupun tak apa, asal terlihat “indah.”
Penjelasan lengkap tentang karya Siti, bisa diakses pada tautan berikut.

Beberapa karya lain di Jakarta Biennale yang cukup membuat saya tersentuh adalah karya Robert Zhao Renhui. Pohon besar yang terpotong-potong disajikan di medium foto yang juga terpotong-potong. Tak ayal, rasa miris menelusup ketika saya melihat foto ini.
Salah satu karya favorit saya berasal dari seniman Hanafi yang berjudul “Perkenalan pertama dengan bahasa”. Dengan jaket berpensil dan sebuah ruang bercat putih yang disebut lumbung bahasa, kita diajak mengingat kembali perkenalan pertama dengan bahasa.

Saya yang tidak punya background seni, menebak-nebak. Pensil dipilih karena merupakan pralambang bagi siapa saja yang pertama kali belajar menggenal bahasa. Jaket, digunakan untuk membantu kita menuangkan bahasa tubuh yang jarang kita sadari apalagi tuangkan. Pengalaman yang ditawarkan Hanafi sangat menarik dan kaya permenungan, buat saya.
Penjelasan lebih lengkap dari karya ini dapat dilihat langsung di tautan berikut.
**
Terlepas dari benar tidaknya penafsiran kita tentang suatu karya, saya rasa yang terpenting dari karya adalah membuatmu bertanya-tanya dengan keindahannya, dengan keanehannya, dengan keunikannya, dengan keluarbiasaannya. Entah karya tersebut membuatmu bingung, membuatmu terperangah, membuatmu kesal, membuatmu marah atau menghadirkan emosi-emosi tak terdefinisi lainnya.
Saya percaya, begitu nurani atau batinmu terketuk, maka tercapailah tujuan si karya.
Seperti temanya, Jakarta Biennale 2017 yang menampilkan lebih dari 50 seniman dalam dan luar negeri mampu mengusik JIWA saya.
***
Leave a Reply