“Taluah Katong.. Taluah katong..”
Dulu, di kampung saya Padang begitu cara orang menyebut telur penyu, telor katong. Di hampir sepanjang pesisir pantai padang telur setengah matang yang hangat-hangat bahkan tak jarang masih berpasir ini dijajahkan secara bebas.
“biar pintar..” begitu dulu dalih orang tua saya ketika menyuruh saya mencicipinya. “amis ma!” jawab saya ketika itu. Jawaban yang hanya terbang bersama angin laut.
Beranjak dewasa saya tau, penyu adalah hewan yang akan kembali ke “rumah” di mana ia ditetaskan ketika akan bertelur. sekali sang penyu mendaratkan telur di suatu pantai, anak, cucu dan cicitnya akan terus kembali ke sana jika lingkungan memungkinkan. Pilihannya tak banyak, asal tidak terlalu terang dan memiliki pasir yang halus.
Kelebihan sang penyu ini, sekaligus ternyata menjadi kelemahan buatnya. Para manusia yang mengetahui kebiasaan ini, menanti sang penyu yang bertelur dan dengan sesegera mungkin menggali calon-calon tukik (bayi penyu) yang masih hangat dan berjumlah ratusan itu lalu menjualnya.
Telur itu yang dulu ketika kecil saya nikmati setengah tak sudi. Saya hanya ingat betapa rasa dari telur itu lengket di mulut. Maaf, untuk para tukik yang berakhir di perut saya dan perut anak-anak lain yang pernah dijejali telur penyu ketika kecilnya. Kami tak akan mengulanginya pada anak-anak kami. Janji.
SEkarang, ketika penyu semakin sulit ditemukan. Telur-telur itu menjadi terlarang untuk dijual. Manusia punya cara baru untuk mengeksploitasi penyu, menantinya bersalin. Bak bidan, diam-diam menunggunya di pinggir pantai, sekali sang ibu penyu menggali lubang dan mengeluarkan telur pertamanya, mereka memanggil para teman dan siapa saja yang ingin menyaksikan kejadian itu.
Membuat lingkaran dan menunggui sang ibu penyu yang berjuang untuk mengeluarkan bayi-bayi tukiknya. Kejadian inipun pernah saya alami sekali, cukup sekali dan tak akan lagi.
Saya ingat betul air mata yang menetes dari sang ibu penyu ketika mengeluarkan telur-telur kecil itu. Riuh renyah suara orang-orang yang tak peduli, hanya sibuk dengan diri masing-masing. Lalu sebuah flash memperparah keadaan itu. Saya tak mampu menyaksikan lebih dari itu,
Sembari mengajak teman-teman pulang, saya berkaca-kaca. Saya bertanya, “kita ini makhluk apa sih? Menonton binatang bersalin dan berfoto dengan bangga ketika sang binatang sedang menangis pedih mengeluarkan bayi-bayinya.”
Ya, pertanyaan itu lebih ke sebuah pernyataan untuk diri saya sendiri. Itu dua dosa besar saya pada penyu. Sejak saat itu, saya berjanji hanya akan menikmati keindahan penyu di bawah laut ataupun di pinggir pantai, diam-diam tanpa banyak interaksi.
Semoga 6 dari 7 jenis penyu dunia yang ada di Indonesia bertahan sampai anak cucu kita. Kalau saya bilang cicit apa terdengar terlalu berlebihan? Semoga semesta menjaga makhluk bijaksana itu.
Leave a Reply