Kesederhanaan selalu punya pesonanya tersendiri. Hal yang sama terjadi pada film panjang pertama besutan Sutradara asal Yogyakarta BW Purbanegara. Tanpa satupun sosok artis dan aktor terkenal, film ini punya cara sendiri untuk mencuri hatimu dengan jalan cerita yang apa adanya.
Persis seperti judulnya, film ini bercerita tentang ritual ber-ziarah ke makam. Pokok masalahnya muncul ketika Mbak Sri yang diperankan oleh Ponco Sutiyem yang juga telah berusia 95 tahun, mendapatkan informasi baru dari rekan seperjuangan suaminya. Informasi yang memantik harapan untuk mencari lokasi dari makam sang suami yang dulu pamit berperang dan tak pernah kembali.
“aku pamit untuk berperang, kalau aku tidak kembali. Ikhlaskan ya. Ikhlaskan..” ini kalimat terakhir yang diucapkan sang suami ketika dulu meninggalkan rumah. Berbekal kalimat terakhir, potongan cerita, foto dan sekeranjang bunga rampai sang nenek berpetualang mencari makam sang suami.
Semua perjuangan naik turun bus, berjalan berkilo-kilo meter untuk mengumpulkan remah-remah informasi tentang Parwiro Sahid ini dilakoni hanya dengan tujuan yang sangat sederhana. “kelak mati saya mau disampingnya..” tutur Mbah Sri dengan perlahan dan yakin.
Hal lain yang butuh diapresiasi dari film ini, orang-orang yang bermain di film ini bukan artis atau aktor sungguhan. Mereka adalah orang-orang yang memiliki latar belakang sejarah peperangan. Tak heran jika film ini membutuhkan waktu sekitar dua tahun untuk merampungkannya.
Bewe, sapaan mesra teman-teman untuk sang sutradara menjahit sejarah tentang agresi militer Belanda II dan tentang kejadian tahun 1965 di dalam badan cerita dengan begitu telaten dan mulus. Seperti rempah pedas yang dimasukan dengan takaran yang pas sehingga cukup untuk membuat hangat namun tak membakar lidahmu. Ini juga yang membuat film ini terasa begitu personal, begitu Indonesia.
Selama 87 menit, kamu akan ditarik perlahan-lahan untuk masuk ke dalam cerita. Potongan-potongan informasi disebarkan di tiap-tiap dialog, membuatmu ikut serta berperan menjadi detektif membantu Mbah Sri mencari makam suaminya.
Detil penggambilan gambar yang disokong dengan dialog yang begitu kuat di dalam film ini, tak jarang membuatmu bergidik. Seperti cubitan dan tamparan yang dilepaskan tepat pada waktunya. Ada juga sinisme tentang kemiskinan. “sabar itu alasan orang miskin.” Rasanya tak salah jika film ini masuk menjadi pemenang skenario terbaik versi majalah Tempo serta masuk sebagai nominasi skenario asli terbaik di Festival Film Indonesia.
Saya ingat pesan seorang editor pada saya, kisah yang besar adalah kisah yang mampu melewati kultur dan generasi serta memperkaya orang yang mendengarnya. Buat saya ziarah telah melakukan hal itu. Sebuah cerita sederhana yang dikemas dengan begitu apik dan teliti sehingga mampu membuatnya lebur dan menelusup ke sanubari. Dari pencarian Mbah Sri, banyak hal yang bisa kita petik.
Ziarah adalah film yang jika dihayati sepenuh hati, akan menjadi bagian dari ingatan. Pesannya akan bertenger di sana untuk waktu yang tak terbatas. Menunggumu dengan sabar untuk memulai perziarahanmu sendiri.
Hidup itu penuh dengan kejutan, pun cerita sederhana yang dituturkan dalam bahasa Jawa ini. Satu penggalan terakhir yang selalu terngiang-ngiang di kepala, “yang terpisah nanti akan dipersatukan oleh tanah.”
Tulisan ini sebelumnya telah diterbitkan di kabarkampus.com
Leave a Reply