“Perempuan itu cukup dapur, sumur, kasur…” begitu nasihat tetangga kepada Yuni, perempuan berumur 16 tahun yang bermimpi untuk melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi.
Nasihat semacam ini tentu bukan suara baru. Di dalam film Yuni, suara-suara sumbang tersebut diolah dan ditampilkan dengan lebih dekat. Seperti tamparan, isu-isu sumbang ini dihadirkan dengan kisah sederhana yang tak jauh. Sebegitu terasa dan sebegitu lekat dalam jangkauan kita.
Ada yuni-yuni lain di luar sana, perempuan yang hanya dinilai dari keperawanannya, perempuan yang dinilai berdasarkan materi, perempuan yang ditentang memiliki mimpi. Di mana semua hal tersebut terjadi di depan mata kita dan atas izin atau bahkan dukungan masyarakat.
Film ini dihadirkan dengan bahasa Jawa Serang dan Sunda Banten yang justru membuatnya terasa semakin nyata dan begitu dekat. Perkampungan kecil padat penduduk, di mana berita bergerak seperti udara, dan tak mungkin ada rahasia di antara penghuninya. Di mana hal-hal baru dan berbeda tidak memiliki tempat.
Secara keseluruhan film Yuni berperan sebagai wadah besar yang untuk mencoba mengaduk berbagai isu-isu panas yang jarang disuarakan tentang peran dan batasan-batasan sosial yang memagari dan membelit perempuan. Di sela-sela film berdurasi 120 menit ini bahkan diselipkan juga beberapa kisah-kisah satire tentang kekerasan rumah tangga yang dilumrahkan dan isu LGBT yang sedang jadi sorotan di seluruh dunia.
Ada beberapa jahitan yang kurang rapi dalam jalan cerita di film yang memenangkan Platform Prize di Toronto Film Festival ini. Namun, mengingat durasi dan betapa besar dan banyaknya isu yang ingin dikemukakan, hal ini mungkin kompensasi yang harus dibuat.
Lepas dari hal tersebut, pemilihan wajah baru sebagai tokoh utama merupakan hal yang perlu diacungkan jempol. Cinematografi dalam film ini juga cukup memanjakan mata. Ditambah dengan romansa yang dihadirkan dalam sajak-sajak Sapardi Djoko Darmono yang begitu sederhana dan mempesona. Maka rasanya tak heran jika kemudian film yang disutradari dan ditulis oleh Kamila Andini ini dijagokan sebagai film Indonesia yang akan maju ke ajang Academy Awards.
“Suara itu adalah aurat..” ucap teman Yuni di awal film. Segala kesuksesan Film Yuni ini seperti pembuktian terbalik bahwa jika tak bersuara, apa lagi yang masih kita (perempuan) punya?
Pesan sederhananya, film ini jadi pengingat agar kita mau bersuara untuk membantu Yuni-Yuni lainnya yang ada di sekitar kita.
Menyemangati bukan menghakimi. Berhenti memilihkan takdir buat kaum perempuan. Behenti nyinyir dan bertanya, “jadi kapan nikah? Kapan punya anak?”
Emang sampean mau ngebayarin?!!
Bandung, 2021-10-16
ivy
Leave a Reply